Trauma dan Histeria

15.6K 2.8K 228
                                    

"Tidak terjadi apa-apa, sungguh. Kemarin itu saya hanya ... hhh ... Pak Polisi, Bu Polisi dan Ibu Pengacara, saya mohon maaf. Maaf karena Puspa sudah merepotkan kalian. Sungguh saya menyesal."

Ora mengerutkan kening, lalu menatap Bayu yang secara kebetulan juga sedang melihat ke arahnya.

"Maaf, Ibu. Tapi saat saya datang ke sini tadi pagi, keadaan Ibu tidak baik-baik saja. Tolong bilang dengan jujur, apakah ada yang mengancam Ibu? Tidak usah takut, saya bertugas untuk melindungi Ibu dari segi hukum," kata Ora tegas.

Tatik tersenyum. "Tidak ada yang terjadi. Saya cuma sedang merasa tertekan. Mungkin kondisi yang Ibu lihat tadi adalah batas kemampuan saya menahan emosi, jadi kesedihan saya meluap begitu saja dan membuat Puspa khawatir."

"Tapi kondisi Ibu tidak baik sejak kemarin pagi. Puspa tahu ada yang enggak beres kan, Bu? Baju Ibu ... lalu ... memar-memar itu!" Puspa bergerak cepat mendekati ibunya dan berniat menyingkap lengan bajunya yang panjang tapi ditepis oleh Tatik.

"Puspa! Kamu ini, ya ... anak kecil kok sok tahu! Cepat, minta maaf pada Ibu dan Bapak ini karena sudah merepotkan mereka. Sekarang, Ibu mau istirahat. Kamu antar mereka. Ya?"

Dengan senyum terpaksa yang diulasnya, Tatik bangkit dari duduknya, lalu hendak beranjak. Namun, dia membeku saat Doni bertanya, "Bulik, tunggu. Mau ke mana?"

Kalimat selanjutnya tidak lagi terdengar oleh Tatik karena berikutnya hanya ada desingan dan derap langkah mengejar yang menguasai pendengarannya.

"Eh ... ayo dong Mbak Tatik, mau ke mana? Kita senang-senang dulu, yuk."

"Buru-buru amat. Mau ke mana, sih, Mbak Tatik?"

"Hei ... Di sini saja, mau ke mana? Kita belum selesai, Mbak Tatik yang cantik."

Tubuh Tatik mulai gemetar, dan tangannya terangkat lalu membekap mulutnya.

"Jangan ... jangan lagi ... tto ... ttolong ... jangan ....!"

Lalu dia berjongkok, dan memeluk tubuhnya sendiri. Isak memilukan tak lama kemudian terdengar. Membuat semua yang ada terpaku.

"Ya, Tuhan," desis Ora. Dia dan juga polwan psikolog kepolisian langsung merangkul mendekati Tatik yang kini menangis pilu.

"Pak Kapolres!"

Bayu mengangguk, dan dengan langkah berderap mendekati Tatik yang masih meringkuk, lalu dengan sigap meraih tubuhnya dan membopongnya keluar.

"Bu Asri, tolong hubungi rumah sakit. Kita akan proses visum," instruksinya tegas kepada sang polwan.

Tatik melolong dalam gendongannya, dan dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri. Untunglah lengan Bayu yang kuat, ditambah tubuhnya sendiri yang sudah sangat lemah karena berada di ambang batas kekuatan, membuatnya usahanya itu gagal. Sang Kapolres membawanya dengan mudah ke mobil, dan sedikit memaksanya untuk masuk dan duduk di situ.

Puspa mulai terisak, tetapi gadis muda itu dengan cepat berlari ke kamar ibunya dan keluar dengan sebuah tas yang sepertinya sudah disiapkan, sementara sepupunya malah melongo kebingungan.

"Kamu, ikut dengan kami. Kita harus cari penyebab Nyonya Tatik kembali histeris, dan itu ada dalam diri kamu." Dokter Asri, polwan sekaligus psikolog itu berkata tegas kepada Doni.

Doni tergagap. "Tapi ... kenapa, Bu Polisi?"

Ora merangkulnya. "Tidak apa-apa, Dik Doni. Apa pun bisa terjadi, mungkin saja, ada sesuatu dalam kalimat kamu yang memicu ingatan Bu Tatik. Jadi kamu harus kooperatif, ya?"

Doni membulatkan bibir. "Oh, baik. Tapi saya telepon ibu saya dulu, ya?"

"Mas Doni enggak usah bilang apa yang terjadi," tukas Puspa di sela isaknya. "Aku enggak mau Pakde dan Bude tahu ada apa."

Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now