Pengamat Yang Baik

13.8K 2.7K 304
                                    


"Jangan bilang kamu di sini untuk membantu saya menyelidik, Debbie. Ups ... Deborah Christine. Ini kerjaan polisi, lho. Memangnya pengacara tuh ndak harus ribet urus surat ini-itu, ya? Ndak ada sidang yang harus dihadiri atau klien untuk dibujuk-bujuk, gitu?"

Ora mengerutkan keningnya, dan menatap Bayu yang sudah menatapnya lebih dulu dengan senyum miringnya yang memesona.

"Menurut Bapak, pengacara itu seperti pegawai kelurahan yang mengurus surat-surat? Atau guru TK yang harus membujuk muridnya yang tidak mau ditinggal di sekolah?" ketusnya.

Bayu mengerjap. "Woooo ... ya, ndak, lah! Kalau petugas kelurahan atau guru TK modelannya kayak Debbie, eh ... Deborah Christine, bisa kabur warga dan murid TK-nya. Betul, ndak?"

Tak sengaja Ora membelalak. "Bapak ini ...."

"Beda dengan saya. Justru kalau petugas kelurahan mirip sama Debbie, eh, Deborah Christine ... pasti saya akan urus E-KTP bolak-balik sendiri. Hehehe." Kembali Bayu menyambung.

Ora semakin memelotot.

"Dan kalau Debbie ... eh, salah lagi, Deborah Christine adalah guru TK, ndak papa ... saya jadi muridnya juga boleh." Bukannya diam Bayu malah cengengesan.

Ora merapatkan bibirnya. "Bapak ini Kepala Polres, perwira yang juga pejabat. Apa tidak konyol bersikap seperti itu?" desisnya.

Bayu makin cengengesan, tapi saat itu Ora menyadari kalau mata tajam pria itu sedang mengawasi sekelompok anak muda yang tadinya juga sedang diawasi olehnya.

Apakah pria ini hanya sedang pura-pura bersikap konyol karena sedang menyelidik? Melihat pakaian sipil yang dikenakannya, bisa saja dia sedang menyamar, kan?

"Ealah ... merhatiin saya, tho? Ganteng, ya? Saya tahu saya ganteng, kok. Tapi jangan sok mau deket-deket, yo, saya ndak murahan, lho." Kembali Bayu berkata konyol, membuat Ora memutar matanya kesal.

Di balik meja barnya, barista sekaligus pemilik kafe, Welli, tersenyum geli melihat interaksi kedua orang di hadapannya. Dia tahu kalau pria yang terlihat iseng ini sebetulnya tertarik kepada lawan bicaranya yang cantik meski kaku itu, tetapi entah kenapa, caranya menunjukkan ketertarikan unik sekali. Ada-ada saja.

"Saya tidak tertarik untuk dekat-dekat dengan orang seperti Bapak, seperti tidak ada kerjaan saja," gerutu Ora.

Bayu melirik, dan mau tak mau Ora harus mengakui kalau pria ini tampan sekaligus memikat meski dengan gaya slengean-nya.

"Awas ... kalau Debbie nanti naksir saya, baru tahu rasa, lho ...."

Kembali Ora memutar matanya. "Nama saya bukan Debbie!"

"Oh, iya ... Deborah Christine, apakah kamu menerima Sangiang Bayu Buana sebagai ...."

"Hentikan!" desis Ora galak.

"... suamimu dalam susah ataupun senang, sakit ataupun sehat, sampai maut memisahkan?" Tak memedulikan nada galak Ora, Bayu meneruskan kalimatnya.

Jengkel setengah mati, Ora bangkit dari kursinya. Mungkin lain kali saja dia melanjutkan penyelidikan, karena kehadiran pria berengsek biang kerok yang tidak tahu malu ini sudah benar-benar memusnahkan niatnya untuk mencari tahu soal Tatik. Menunda satu hari mudah-mudahan tidak akan berpengaruh terlalu banyak.

Namun, belum dia beranjak, Bayu tiba-tiba saja mencengkeram pergelangan tangannya. Tatapan tajam pria itu membuat Ora tertegun, apalagi saat bibirnya yang tipis dan seksi itu mendesis.

"Tetap di sini saja. Kamu sedang melakukan sesuatu yang penting, tho? Kita punya tujuan yang sama, jadi kenapa harus lari?"

Ora memelotot. Kenapa katanya? Perwira satu ini sepertinya jarang sekali bercermin. Bagaimana mungkin dia tidak sadar kalau sudah mengganggu orang lain?

Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang