BAB 18

36 1 2
                                    

Malam menunjukan pukul 20.30 waktu Indonesia bagian barat. Angga mencoba menyelaraskan nada gitar yang ada di peluknya. Mencoba sekali lagi harmoni yang akan dibawanya memandu orang-orang yang sekiranya memendam kegalauan di dadanya. Atau mungkin hatinya yang telah mati.

Suara gitar berpadu alunan nada-nada tempo melodi yang melengking memanjakan telinga penikmat musik. Suara dari petikan gitar Rey yang seolah-olah rambut gadis yang di peluknya mesra. "C' mon man?" Suara Rey yang terdengar samar-samar di telinga Angga.

Seusai menyetem gitar dan peralatan band nya. Angga sebagai vocalist dan pemain gitar, meminta waktu beberapa menit untuk berdoa dan berdisku perihal lagu yang akan dibawanya malam ini.

"Kita bawain lagu Base Jam ?" Seru Rey dengan sorot mata yang berbinar-binar seolah ialah yang paling hapal nada dan lirik tempo gitar yang dipegangnya.
"Yap, sesuai rencana awal kita kan?" Angga melirik teman yang dua nya lagi, Roby dan Jhon. Jhon hanya mengangguk pelan dan Roby mengacungkan jempol, tanda semua setuju. Lalu, Angga memimpin doa dengan khusuk berharap menampilkan yang terbaik untuk penonton.

Start...
bunyi pedal pertama dari drum yang dihentak oleh Jhon menjadi penanda sebuah intro. Angga berpacu, memetik senar gitar dengan tempo yang faseh, dan kunci yang ter-organisir alias rapi. Intro berjalan lambat tetapi power full menambah kesan suasana yang romantis. Tepuk tangan riuh sana-sini yang di dominasi kaum borjuis dan kalangan mahasiswa biasa. Angga fokus, tak menampilkan seraut senyum di bibirnya.

Saat tanpamu tak lengkap hidupku
pilu ku kehilanganmu
saat denganmu terasa membosankan
jenuh, semua serba salah

Mengapa ini terjadi dan ku harus memilih?

saat tanpamu tak lengkap hidupku
pilu ku kehilanganmu
saat denganmu terasa membosankan
jenuh, semua serba salah

mengapa ini terjadi
dan kuharus memilih

reff:
karna denganmu atau tanpamu
ku tak mampu jalani
kisah kita tak menentu
bersamamu tanpamu

saat tanpamu hanya kau
yang mampu mengerti diriku
saat denganmu selalu ada cemburu
curiga, saling tak percaya

Lagu berhenti ketukan pedal yang dihentak telah senyap. Hanya suara echo yang menggema dari ucapan terimakasih Angga kepada penonton yang sudah mendengarkan. Semua bertepuk tangan. Tetapi masih ada satu lagi yang harus dinyanyikan oleh mereka, nanti, setelah cafe ini akan tutup, begitu kata pemilik cafe.

Angga dan teman-teman lalu turun melewati tiga undakan anak tangga yang ada di sebelah backstage. Kembali ke meja bundar dimana Angga dan teman-teman duduk sembari menunggu perform kedua.

Rainbow Coctail tersedia dua botol dan berisikan empat gelas penuh di meja. Angga mengehela nafas, untuk mencoba minum yang diambil dari tangan nya. Sekali tegukan habis. Lalu tambah dengan satu kali tuang, dan landas sampai ke tenggorokan dan lambung. Nyelow..

"Lo masih belum bisa lupain soal pensi kemarin?" Roby memandang Angga yang setengah bengong.

"Enggak, gue cuma khawatir aja sama Kinan. Takut di apa-apain sama cowok brengsek itu"

Roby mengambil mata dan menatap sekeliling.
"Gue yakin Kinan cewek baik-baik"

"Gue yang engga yakin cowok itu orang baik-baik, gue emang naif, kenapa dari sekian banyak cewek yang ada di otak gue cuma itu itu doang, kenapa ga ada yang lain ya? Atau engga siapa kek yang nempel" Angga mendengus.

Rey mengangkat bahu. Ia tidak tahu bagaimana memberi motivasi dengan kata-kata yang bijak. Atau tidak petuah kuno dapat disampaikan melalu kata-katanya, dan celakanya ia tidak tahu apa yang harus di ucapkan.

Angga mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di bibirnya, dan membakarnya sampai ujung rokok tersebut membara. Menghisap seluruh tembakau kering yang perlahan menjadi abu dan asap. Udara semerbak asap rokok membumbung. Angga minum sekali lagi.

Jhon, ia beranjak dan meninggalkan mereka bertiga. Melangkahkan kaki nya dengan tenang. Ada sesuatu yang di carinya. Mata nya menyapu sekeliling di pojokan ruangan dalam cafe. Ia mengamati semuanya yang ada ditatap nya. Ketemu.

Ia berbelok melalui celah-celah sempit di pinggiran meja cafe yang lebar. Berjarak satu setengah meter dari pinggir meja. Ia maju dan mendekati salah satu pengunjung yang isinya kebanyakan wanita. Dengan pakaian minimalis dan menampakan bahu mereka yang polos dan bersih.

Jhon tersenyum. "Lo sekarang pindah kemana Live?"

Olive. Membalas senyum, tatkala ia melihat Jhon yang ada di depan mata nya.

"Lo mau duduk di sebelah gue bareng mereka atau kita yang nyari meja baru?" Jawabnya.

"Kesana aja yuk?" Jari lentik Olive menunjuk salah satu meja mini dengan dua kursi berhadapan. Itu lebih baik.

"Kapan kita terakhir ketemu?" Olive membuka pertanyaan.

"Waktu gue masih SMP kalik?" Jhon mengingat-ingat.

"Ah, bener banget. lo SMP kelas tiga dan gue SMA kelas tiga. Iya kan...?"

"Iyaaa, kayaknya. Lo pindah engga ngabarin gue?"

Olive berdehem. "Gue dadakan banget Al, nyokap pengen banget buru-buru pindah. Jadi sori banget gue engga sempet pamit sama lo waktu itu. Lo sendiri tahu lah, kalo posisi lo lagi di Bandung"

"Telpon kek, kan gue bisa pulang"

"Al, walaupun gue telpon lo juga, saat lo balik juga gue udah engga ada lagi dirumah lagi. Semuanya serba buru-buru"

Memoar. Arti dari potongan-potongan kenangan yang tercipta dari ilusi. Melayang di udara bak serpihan klise-klise poto yang tersebar di ruangan. Ia berhak mengambil satu-satu foto tersebut kemudian memutarnya di otak bersama Amigdala yang masih sehat dan normal.

Jhon menyadari sekali lagi. Pertemanan dengan Olive menjadi butiran kenangan yang terpungut tak berguna. Buat apa? Hanya menambah masalah beban hidup yang ada di hatinya.

"Lo sendiri bagaimana? Apa kabar tante Utrech?"

Menyadarkan orang yang tersangkut di dimensi lain emang susah.

"Woy... bengong aje?" Olive mengibas-ngibaskan tangan di wajahnya.

"Kabar tante Utrech gimana?" Satu kali lagi.

"Nyokap udah engga ada Live" begitu jawaban Jhon.

"Sorry, gue baru tahu soal ini. Kenapa mama engga ngabarin gue ya? Apa mama tahu soal ini?"

Jhon menggelengkan kepalanya.

Your Favorite Song Where stories live. Discover now