37| Bab 16: Bintang

42 11 0
                                    

Suasana kelas sunyi senyap karena semua tengah berganti pakaian untuk jam olahraga. Aku sengaja menunggu semua keluar terlebih dahulu, dan baru pergi ke ruang ganti saat mereka mulai kembali.

Tak lama ponselku pun bergetar, tanda masuknya sebuah pesan.

Sekarang!!!

Isi pesan itu membuat gerak kakiku semakin cepat, tak ingin terlambat ke sana. Langkahku terhenti di depan pintu saat mendengar Ayu dan Nathal tengah membincangkan sesuatu di dalam.

Aku membuka pintu, memasang wajah culun takut-takut, dan masuk. Dari ujung mataku tampak Ayu memerhatikanku tak suka. Tatapannya terasa mengganggu langkahku yang memang sudah kaku.

Tak lama ia pun menyeletuk, "Gak ada yang akan ngambil gambar kita waktu lagi ganti pakaian kan? Takutnya nanti ada yang nyebarin lagi."

Kulirik Nathal yang menyikut lengan Ayu, sementara Mey---teman semeja Nathal---hanya diam tanpa memberi kontribusi berarti.

"Udahlah Nath, gak usah terlalu baik. Kalo nanti foto kita kesebar gimana?"

Ayu mendatangiku. "Kamu!" Tunjuknya tepat di wajahku. "Aku udah gak tahan lagi temenan sama kamu. Setiap hari kamu bilang samaku buat nyerah soal Kak Henry. kamu bilang gak ada gunanya juga aku nge-chat dia. Karena orang-orang kayak kita gak pantes buat cowok kayak Kak Henry atau Kak Niel."

Otakku berputar mengingat yang mana wajah orang yang disebut Ayu sebagai Henry.

"Tapi kamu juga berusaha deketin dia kan? Waktu itu aku liat chat kamu sama dia!"
Aku tak tahan. Ini seperti sinetron. Murahan banget ceritanya. Aku tak yakin Nathal dan Mey akan percaya dengan sandiwara kurang bobot tanpa kualitas ini. Namun sebisa mungkin aku mempertahankan wajah tertindasku. Aku memang tak pandai bersandiwara, tapi setidaknya aku tak boleh tertawa melihat Ayu yang seperti ingin dapat piala Oscar akan aktingnya.

"Kamu itu ular, Bi! Sok polos di depan, tapi petingkah di belakang!"

Konsentrasiku hampir saja buyar saat melihat lubang hidung Ayu yang kembang-kempis. Namun dapat kukendalikan dengan memandang tempat sampah di pojok tempat ini.

Tunggu dulu, di sana... ada pembalut wanita yang sudah diremas menjadi gumpalan seperti bola. Gumpalan itu nangkring cantik di puncak tertinggi; Berdiri dengan kokohnya di atas sampah-sampah lain.

Kenapa ada orang buang softex di sini WOY...! Buangnya di tempat sampah dalam bilik toilet gak bisa apa?

Aku menjerit dalam hati. Dari mana datangnya hal lawak ini? Bukankah seharusnya ketegangan yang mendominasi, tapi sensasi menggelitik ini benar-benar membuatku tak tahan.

Aku sekuat tenaga memperlihatkan wajah yang menurutku akan terlihat teraniaya. Sementara itu Ayu tiba-tiba saja mendorongku---aku tak dengar dia bicara apa sebelumnya---tak terlalu kuat, tapi karena ini sandiwara, bukankah aku harus terjatuh dengan mengenaskan. Aku pun melakukannya, terjatuh dengan dramatis sambil pura-pura meringis kesakitan.

Nathal menjerit, "Udah Yu!"

Ia sedikit berlari mendekatiku. Namun sebelum benar-benar sampai, ia berhenti dan berbalik pergi.

Mey terlihat seperti orang kebingungan, tapi akhirnya ikut pergi juga seperti Nathal.
Aku melirik Ayu. Sedetik kemudian kami tertawa terpingkal-pingkal.

"Keren Bi, aktingmu," pujinya berlebihan.

"Keren apanya? Aku udah mau ketawa keras-keras ngeliat softex di sana." Tanganku menunjuk tong sampah sial tadi.

Ayu menoleh dan kembali terpingkal-pingkal. "Jadi muka kamu yang aneh tadi karna itu?"

Aku bingung. "Memang mukaku kayak mana tadi?"

"Muka kamu aneh banget. Kukira kamu mau nangis karna terlalu menjiwai peran. Astaga." Ayu tersenyum cerah lalu di detik selanjutnya kembali tertawa puas. Kuperhatikan matanya yang menyipit saking gelinya ia sekarang.
Sipit? Ini seperti mengingatkanku akan sesuatu. Ah, iya. Henry itu si kakel bermata sipit yang ditetapkan Ayu sebagai gebetannya beberapa waktu lalu.

***

Waktu istirahat baru saja dimulai. Ayu sudah keluar sesaat setelah Pak Hotang meninggalkan kelas. Sementara aku menunggu bel berbunyi baru keluar dan langsung pergi menuju gudang.
Tidak! Aku tak ada niat balas dendam dengan Tiga Cabe Sesat yang nama-namanya terlarang untuk kusebutkan. Aku akan membalas mereka dengan keren. Tak akan kulakukan cara kotor begitu untuk membalas seseorang. Bullying itu mainan anak-anak lemah. Bisanya cuma keroyokan. Kalau mereka yang mengalami perundungan seperti yang mereka lakukan padaku, entah-entah, mereka sudah bunuh diri. Jenis orang yang bermental lemah. Kuakui aku juga shock berat dan sangat ketakutan, tapi sekuat tenaga aku tak ingin berpikir mengenai hal-hal berbau suicide.

Tolonglah, aku ingin mata mereka terbuka akan perundungan seperti itu. Apakah menjadi iblis itu menakjubkan? Bodoh sekali! Menghina dan menghancurkan kepercayaan diri orang lain adalah hal yang sangat jahat dan kejam.
Aku melihat Ayu dari kejauhan. Masker di wajahnya membuatku bingung dan bertanya-tanya. Dia mau nyamar gitu ceritanya?

Itu membuatku ingat seseorang yang dulu juga pernah menyamar saat menguntit seseorang. Namun berakhir tragis---walau lucu juga.

"Ngapain pake masker segala?" tanyaku saat sudah berada di dekatnya.

"Nyamar Bi, kalo ada anak kelas kita yang ngeliat kita bareng gimana?"

"Pake masker juga mereka tetep bakal tau kamu siapa, Yu!" seruku sambil tersenyum lucu.

"Terus gimana dong?"

"Udahlah. Kita kan mau ke tempat anak-anak IPA. Memangnya mereka tau, kalo di kelas, kita gak cakapan. Kemungkinan ada anak kelas kita juga kecil banget."

"Bener juga. Tapi aku bakal tetep make masker ini."

Aku mengendikkan bahu tak peduli. Kemudian kami pun pergi ke tempat tujuan.

***

Kami berdiri seperti orang bodoh di depan kelas X Mia-5---lebih tepatnya berdiri di depan jendela. Ayu tanpa malu melirik-lirik ke dalam sana, mencari seseorang bernama Ayu.

Iya, Ayu Elma Aginta br PA. Orang yang kami curigai sebagai tersangka. Namun ini bukan berarti kami hendak melabraknya---berjalan dengan angkuh mendekat, lalu menggebrak kuat mejanya sampai orang satu kelas memberi atensi penuh pada kami. Tidak akan! Kami tak segegabah itu.

"Itu, itu, Itu orangnya!" Ayu memukul-mukul bahuku sambil terus menengok ke dalam.

"Yang mana?"

"Itu yang lagi makan di meja baris kedua, nomor dua, dari meja guru."

Aku mengikuti instruksi Ayu, mencari-cari keberadaan anak itu.

Aku pun melihatnya. Gadis berikat satu yang tengah memakan bekal sendirian. Gaya dan wajahnya terlihat biasa saja, begitu pun dengan sikapnya yang terlihat cuek dengan sekitar. Oke, mungkin aku terlalu cepat menilainya sebagai orang yang cuek. Namun kulihat dengan jelas tadi ia sama sekali tak peduli dengan cowok jangkung yang berusaha mencandainya. Meskipun tetap saja, Don't Judge a Book by Its Cover. Bisa saja penampilannya menipu.
Aku akan mengingat wajah gadis itu. Pasti!!!

***
Sincerely,
Dark Peppermint

Fomalhaut the Lonely Star (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora