Hujan tercurah dengan derasnya, disertai deru angin yang berembus kencang. Meliukkan dahan pohon di sepanjang jalan yang aku lewati. Aku terus melajukan sedan yang ku kendarai dengan kecepatan sedang, hingga memasuki gerbang rumah yang secara otomatis terbuka saat kendaraan yang kukemudikan tepat berada di depan jeruji besi tersebut.
Setengah berlari aku memasuki halaman depan dengan jas yang tersampir di atas kepala. Walau jarak yang kulewati untuk mencapai teras tidak begitu jauh, namun karna hujan yang terlalu lebat berbaur dengan terpaan angin, tetap saja membasahi kemeja yang kupakai seberapa cepat pun aku menghindar, hingga membuat bajuku lepek tak terselamatkan. Menyisakan titik-titik air yang menetes, membasahi lantai di bawah kakiku ini.
Seorang pelayan berseragam coklat putih membukakan pintu untukku dengan kepala sedikit menunduk, tidak berani menatap langsung ke arahku.
Aku yang sudah tidak betah dengan kemeja basahku ini, tanpa berbasi-basi bergegas melewatinya. Berjalan cepat melintasi ruang tamu yang luas dan hening dengan cahaya remang menuju kamarku.
Hawa dingin AC langsung menyambutku saat baru saja membuka pintu. Membuat tubuhku bergetar hebat, dalam ruangan persegi yang di dominasi oleh warna lembut tersebut.
Sepasang tangan berjari lentik langsung meraih jas yang tanpa sadar masih aku pegang dan membawanya ke keranjang pakaian kotor.
"Terimakasih," ucapku kaku, tanpa menunggu balasan darinya akupun melangkah menuju kamar mandi, untuk membuka sisa pakaian yang masih melekat di tubuhku, sebelum membasahinya dengan curahan air shower yang telah kusetel menjadi hangat.
Aku bukanlah seorang lelaki yang suka menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi. Setelah melakukan kegiatan umum yang biasa di lakukan orang lain seperti pada umumnya, akupun bergegas keluar.
"Kenapa kau belum tidur?" Tanyaku berbasa-basi, saat melihatnya masih asyik bermain gadget. Gadis itu tampak nyaman duduk bersandar pada kepala tempat tidur, dengan bantal yang menopang punggung-nya.
"Masih belum ngantuk," ucapnya tanpa menatapku.
Aku yang sudah mengenakan piyama tidur berwarna gelap melangkah ke arahnya, dan ikut merebahkan tubuhku di samping gadis itu.
Mungkin karena sudah mulai terbiasa berada dalam satu ranjang dan ruangan yang sama dengannya, tidak ada perasaan canggung di hatiku, saat kami hanya berduaan saja di kamar ini.
"Kau tidak kedinginan menyalakan AC dalam suhu serendah itu di saat hujan lebat seperti ini?" Tanyaku saat melihatnya bergelung dalam selimut tebal.
"Aku kedinginan," jawabnya tak acuh.
"Lantas kenapa kau malah ..."
"Kenapa sekarang kau jadi cerewet sekali sih," Ucapnya tak suka.
"Bisa tolong kecilkan AC-nya," ucapku tanpa memperdulikan ucapan ketusnya itu.
"Bilang saja dari tadi, nggak usah bicara muter-muter kayak gitu, bikin kesel tau nggak," omel Khila, sambil mengambil remote untuk menaikkan suhu ruangan menjadi 20 derajat.
"Aku minta maaf kalo udah bikin kamu kesal," ucapku tidak ingin memperpanjang masalah, yang di balas gadis itu dengan dengusan.
"Kamu udah makan?" Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa menit saling diam.
"Udah tadi sore," ucapku jujur.
"Itu berarti belum Fer, kamu ngapain aja sih di kantor sampai nggak sempat makan malam. Oh aku tahu, kamu pasti sibuk berkencan dengan para jalangmu di atas ranjang, sampai lupa waktu," ucapnya dengan raut tak suka.
"Aku pulang seperti biasa Khi, cuma tadi kejebak macet parah hampir 4 jam karena banjir, makanya aku telat sampai rumah dan nggak sempet makan," ucapku menjelaskan, entah kenapa aku tidak ingin gadis itu berpikiran buruk tentang aku.
Gadis itu mengernyit tanda bingung, mungkin dia merasa aneh dengan sikapku ini. Peduli setan, yang penting aku sudah bicara jujur, terserah dia mau percaya atau tidak.
"Kau mau kemana?" Tanyaku kepo saat melihatnya turun dari tempat tidur.
"Memasakkanmu makan malam, kau pikir apalagi." Ucapnya yang sudah berdiri di depan pintu.
"Biar ku temani," ucapku lembut sambil ikut turun dari ranjang kami.
Khila melongo mendengar jawabanku, tapi dia segera merubah ekspresinya menjadi datar kembali, dan segera pergi dari kamar tanpa menungguku.
Shit kenapa aku jadi seperti ini, tingkahku sudah seperti bocah yang tidak mau jauh dari ibunya, sungguh memalukan.
+++
Aku duduk sambil memperhatikannya memasak. Gadis itu terlihat gesit dan cekatan saat memotong sayur dan bawang, sebelum menumis bumbu dan mencampurkan-nya bersama bahan utama. Tidak berapa lama telah terhidang di hadapanku sepiring kwetiau goreng dengan potongan sosis dan bakso.
Aku memakannya dengan lahap dan baru menyadari kalau aku benar-benar lapar.
"Mau kemana?"ucapku saat melihatnya berdiri dari kursi meja dapur, tanpa sadar sebelah tanganku memegang lengannya.
"Aku ngantuk mau tidur," ucapnya ketus.
"Kau di sini dulu ya, temani aku makan," perkataan itu terlontar lagi dan keluar begitu saja dari mulutku, membuatku kaget dan malu sendiri. Apalagi saat mendapati raut bingung dan Keheranan yang kembali nampak di wajah cantik istriku.
.
Dengan gerakan ragu Khila kembali duduk, menatapku yang masih sibuk menyantap masakannya.
"Tumben kau minta aku temani, biasanya juga kau langsung alergi jika aku dekat-dekat denganmu," ucapnya heran.
"Apa salah jika aku ingin berdekatan dengan istriku sendiri?"
"Hah!?"
Aku meletakkan peralatan makan ku dan menatap Khila yang nampak bingung dengan kelopak yang mengerjap lucu.
"Aku sadar kalau selama ini aku sering bersikap buruk padamu, wajar jika kau tidak mempercayaiku dan selalu curiga jika aku berada di luar sana. Tapi aku ingin berubah Khi, aku ingin rumah tangga kita seperti pasangan lainnya yang harmonis. Aku ingin pernikahan yang sesungguhmya, bukan kepura-puraan. Kau mau memperbaiki semuanya denganku Khila," ucapku lembut sambil mengenggam tangannya.
"..."
"Aku tahu permintaan ku ini terlalu mendadak dan pastinya membuatmu bingung, tapi aku sungguh-sungguh ingin memperbaiki-semuanya denganmu," ucapku lagi saat Khila hanya diam.
Aku menghela napas pelan, saat menyaksikan Khila yang masih tetap diam.
"Ngomong-ngomong masakanmu enak," ucapku sambil kembali meneruskan makanku yang tertunda. Suasana pun kembali hening diantara kami.
+++
"Sini aku pakaikan," ucap Khila sambil mengambil alih dasi di tanganku. Gadis itu mendongak saat mulai mengaitkan simpul dasiku. Membuat pandangan kami bertemu untuk sepersekian detik.
"Sudah selesai," ucap gadis itu sambil menjauhkan tubuhnya dariku.
Tanpa sadar aku mengusap pelan kepalanya.
"Terimakasih," ucapku tulus.
Kami melangkah bersama menuju meja makan. Di ruangan tersebut sudah ada kedua Kakek Nenek Khila, keduanya tengah menikmati sarapan mereka dengan tenang. Aku lebih dulu menghampiri mereka dan menyapa dengan sopan, yang hanya di sambut keduanya dengan deheman tanpa minat. Dan itu, sangat berbanding terbalik dengan perlakuan mereka pada Khila.
Ah, aku merasa seperti orang
Asing yang tak di harapkan kehadirannya.
Kenyataannya kau memang orang asing Denis.
TBC
Jakarta, 06/08/2019
YOU ARE READING
Duplikat (End)
RomanceSyakhila sangat mencintai tunangannya Ferdi, walau lelaki itu seringkali menyakiti hatinya, namun sebuah tragedi terjadi dan merenggut nyawa Ferdi, tanpa terduga orang yang tidak sengaja diselamatkan Ferdi memiliki paras dan fisik serupa dengan lela...
