Papa

3.5K 407 11
                                    

Waktu menunjukkan pukul 3 malam, Gibran menyalakan motornya. Setelah pamit dengan Cecil, ia meninggalkan rumah keluarga Wicaksono.

Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, mengendarai motor pada jam rawan, dengan memakai celana pendek yang tipis. Bisa-bisa ia menjadi bulan-bulanan om gadungan.

Tak bisa dipungkiri, Gibran hanya ingin pulang menemui Ayahnya yang entah masih terjaga atau tidak. Tak ada pesan, hanya 2 panggilan tak terjawab. Ia merasa sangat bersalah, meninggalkan pria yang sudah menghidupi dirinya sejak Ibunya tak ada.

"Pa? Gibran pulang..."

Ia melihat sekeliling, lampu ruang makan masih menyala, menandakan Ayahnya belum tertidur.

Seorang laki-laki berbalut piyama terduduk di kursi, Agus, Ayah Gibran, ia hanya membetulkan posisi kacamatanya dan kembali melipat tangan. Menatap anak semata wayangnya yang terlihat acakadul.

Sempat terjadi ketegangan, hanya denting jam yang mengisi. Agus menarik nafas, "Udah berapa kali kamu kayak begini?"

Gibran tak menjawabnya, ia mendengar nada amarah di kalimat Ayahnya.

"Kamu kira Papa gak mikirin kamu apa? Papa itu sudah banyak cobaan di kantor, kamu malah nambahin perkara. Gila aja pulang jam segini... Kamu mau bikin Papa jantungan?" 

Agus berusaha meredam emosi, sambil terus mengatur nafasnya.

"Maaf, Pa... Gibran pergi ke rumah temen,..."

"Temen siapa temen?! Kamu lebih mentingin dia daripada keselamatan kamu?" 

"Nggak, Pa... Gibran minta maaf."

"Papa ngelakuin ini semua buat kamu. Biar kamu tetep sekolah."

"Iya Gibran tau, Pa..." Gibran menunduk.

"Siapa temen kamu, sih? Sampe bela-belain pulang jam segini."

Gibran menolak untuk memberitahukan keberadaan Ben. Ia lebih baik menutupinya sebelum Ayahnya menanyakan berbagai hal aneh, apalagi jika ia tahu Ben dulu pecandu narkoba, Gibran memilih untuk bungkam.

"Siapa, Gibran?" nadanya sedikit naik.

"Kenapa sih, Pa? Aku udah bilang, aku habis dari rumah temen. Emang kalau aku kasih tau, Papa bakal tau? Enggak."

"Papa bisa cari tuh anak." Agus mengancam.

"Gapenting banget sih, aku mau mandi."

Lengan Gibran ditahan keras, menahannya untuk mengambil langkah. Genggaman itu kemudian didorong Ayahnya, agar Gibran kembali ke posisinya semula.

"Kamu udah berani ngelawan ya, Gibran."

"Aku gak ngelawan, tapi Papa mempersulit keaadaan."

"Mempersulit keadaan gimana, Papa cuma khawatir sama kamu!"

"Oh ya? Sejak kapan Papa merhatiin anaknya?" Gibran sarkas.

Kata-kata itu menusuk hati siapapun yang mendengarnya, seperti Gibran yang saat ini tak percaya kalimat itu terlontar, mungkin inilah luapan emosinya selama ini, namun penyesalan tak muncul dari relung hatinya, hanya kaget yang ada.

Agus tak bergerak. Mulutnya terasa kelu, terlalu sakit untuk membalas perkataan Gibran.

"Aku tau Papa kerja untuk aku, dan aku gak pernah mempertanyakan Papa dimana dan sama siapa. Karena aku yakin, Papa ngelakuin ini buat aku." Gibran mulai tak kuat berdiri, perdebatan ini terlalu emosional untuk dibahas.

"Apa Papa ada pas aku sakit? Atau pulang sekolah? Atau lagi laper-lapernya? Atau bahkan habis aku pulang kerja? Oke, Papa kasih uang dan ucapan get well soon. Tapi aku butuh lebih dari itu, Pa."

Good Enough [END]Where stories live. Discover now