Track 06

777 54 6
                                    

Hari itu merupakan hari yang sibuk untuk rumah sakit Labuang Baji di Kota Makassar. Beberapa dokter terlihat berjalan ke sana kemari. Sebagian tampak sedang mengobrol dengan keluarga pasien, sisanya terlihat terburu-buru. Ada yang terduduk diam di ruang tunggu, tapi tidak sedikit yang tampak senang sambil mengantar anggota keluarganya yang baru saja sembuh untuk pulang ke rumah.

Di antara suasana yang campur aduk seperti itu, terlihat Andi yang sedang berlari menyusuri koridor rumah sakit. Wajahnya kebingungan seperti sedang mencari sesuatu. Terkadang ia berjalan dan berlari kecil di sepanjang koridor yang dilalui, sampai akhirnya melihat Devina yang sedang duduk di bangku salah satu sudut ruangan. Ia segera berlari untuk menemui gadis yang dicarinya itu.

"Devina!" teriaknya memanggil.

Namun, belum sempat Andi berbicara sepatah kata pun, Devina langsung menyela.

"Ini benar ambulansnya," kata Devina serius sambil tertunduk.

Gadis itu sedikit mendongak sebelum akhirnya dia bangkit dari tempat duduk.

"Aku mengenal salah satu korban kecelakaan ini. Dia harusnya yang membawa pria yang kuceritakan tadi ke rumah sakit," ujarnya.

Andi masih terlihat kebingungan. Padahal, ia ingin mengucapkan sesuatu sebelum Devina melanjutkan ucapannya.

"Pria yang kuceritakan adalah yang memberiku kertas tadi. Dia tidak ditemukan. Kecelakaan ini pasti disengaja oleh seseorang yang kemungkinan besar adalah orang yang sama dengan sosok yang membuat pria itu menikam dirinya."

Andi terkejut mendengar kata-kata Devina.

"Bukankah berarti, siapa pun orang ini ... dia siap melenyapkan siapa saja untuk mencapai tujuannya?"

"Yup, menyenangkan bukan?"

Devina berjalan pelan meninggalkan tempat itu diikuti oleh Andi. Sampai akhirnya, ia melihat kerumunan orang yang berkumpul di depan kamar mayat.

"Mereka adalah keluarga dari orang yang membawa si pria misterius. Lihatlah mereka! Mereka terlihat begitu terpukul," kata Devina dengan seringai tipis di sudut bibirnya.

"Mereka peduli dengan apa yang terjadi pada orang yang mereka kenal. Itu yang membuat mereka bersedih saat kehilangan."

"Bodoh," cela Devina sembari mendengkus panjang.

Andi hanya tertawa kecil mendengar respons Devina. "Tidak cocok untukmu, ya?" ledeknya.

"Aku tidak melihat sisi manfaat orang-orang melakukan itu," jawab gadis berambut panjang itu bingung sambil menatap orang-orang yang berdiri di depan kamar mayat.

"Terlalu rumit, bahkan untukmu."

Andi menoleh ke arah Devina yang masih kebingungan sambil sesekali tersenyum tipis. Beberapa detik kemudian, pria berkacamata itu memikirkan sesuatu. Ia sedikit membungkuk dan mulai berbisik pada Devina.

"Jika suatu saat aku mati, maukah kau bersedih untukku?"

"Dasar bodoh!" bentak Devina tangkas.

Gadis itu sontak berjalan meninggalkan Andi dengan ekspresi kesal teraut di wajahnya.

"Hey! Tunggu!" teriak Andi sambil berusaha mengejar detektifnya itu.

***

"Bagaimana dengan file yang kuminta? Apakah Regita sudah mengirimnya?" tanya Devina.

"Sepertinya belum. Aku akan mengeceknya lagi di rumah."

Devina berhenti berjalan lalu berbalik ke arah Andi. Dengan tatapan serius, ia mulai bicara.

"Aku ingin kau merahasiakan hal ini pada Regita. Aku tidak ingin ada pihak dari pemerintahan yang terlalu banyak ikut campur dalam penyelidikanku. Bisakah kau melakukan itu untukku?"

"Baiklah, Tuan putri. Aku akan melakukan semua perintahmu," ujar Andi meledek Devina.

Keduanya berjalan bersama menuju parkiran tempat Andi memarkir mobilnya. Devina masuk ke mobil, disusul Andi yang masuk di sisi lainnya untuk menyetir.

***

Mobil Andi berhenti di pinggir jalan, tepatnya di depan gedung apartemen yang dinamai Sudirman Suites Makassar. Sekian detik kemudian, Devina turun dari mobil itu. Tanpa basa-basi, ia menutup pintu mobil dan berjalan meninggalkan Andi tanpa sepatah kata pun. Sementara, Andi hanya melihat punggung Devina yang terus berjalan meninggalkannya kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah.

Devina sampai di lobi gedung dan memutuskan untuk naik lift menuju unit apartemennya di lantai 25. Di lift ia melihat dua orang wanita berumur sekitar tiga puluh tahunan dan empat orang gadis belasan tahun. Mereka sedang berbincang satu sama lain. Gadis itu yang terganggu dengan keberadaan mereka dan langsung menyalakan ponsel dan melihat playlist musiknya.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk memilih musik yang ingin dia dengarkan. Sebuah lagu dipilih dengan headphone yang sudah terpasang. Terdengar suara lantunan musik klasik Carmen Hanabera milik Georges Bizet dan membuat suasana yang tadinya mengganggu, kini terasa lebih tenang bagi Devina.

Tidak lama berselang, pintu lift terbuka tepat di lantai yang diinginkan Devina. Dia keluar dari lift dan berjalan menyusuri lorong apartemen sampai akhirnya berada di depan kamar 221. Saat pintu kamar terbuka, terlihat suasana kamar Devina yang gelap gulita. Gadis itu menekan tombol lampu kamar yang berada tepat di samping pintu masuk. Bersamaan dengan itu, berakhir pula musik klasik yang didengarkannya sejak di lift tadi.

Kesan anak perempuan betul-betul terasa saat memasuki unit apartemen Devina. Dekorasinya terkesan lucu dan beberapa boneka burung hantu yang tersusun rapi tampak sangat menggemaskan menghiasi beberapa sudut ruangan. Devina yang kelelahan kemudian melepaskan jaket hoodie berwarna pink yang selalu dia kenakan saat di luar unit apartemennya. Ia duduk di meja kerjanya yang berwarna putih dengan kursi yang terlihat sangat nyaman.

Meja kerja Devina sendiri terlihat seperti milik para hacker yang ada dalam film–film, di mana beberapa LCD komputer tersusun rapi dalam satu meja. Hal unik di sini adalah pemilihan dekorasi yang serba putih bermotif stiker burung hantu lucu.

Devina duduk dan menyalakan komputer kemudian mengecek emailnya, tapi sepertinya tidak ada pesan baru dari Andi. Gadis berambut panjang itu kemudian beranjak dari ruang kerja menuju lemari, mengambil sebuah handuk, dan bergegas mandi.

Usai mandi, Devina melihat-lihat ke lemarinya untuk memilih baju tidur. Beberapa baju dilemparnya keluar lemari sampai akhirnya menemukan satu set piyama pink dengan motif kartun burung hantu sebagai pilihannya. Tanpa ragu, ia langsung merebahkan diri ke kasur.

Gadis itu telah tertidur dan jam di meja samping tempat tidurnya menunjukkan lewat dua menit tengah malam. Sebuah notifikasi pesan elektronik mendadak muncul di layar komputer Devina yang belum dimatikan. Suara notifikasi yang cukup nyaring, sukses membangunkan dirinya yang tadi tertidur pulas.

***

Devina(completed)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ