Started To Hurt

67.4K 3.9K 48
                                    

Thanks for all you've done

I've missed you for so long

I can't believe you're gone

(Alter Bridge - In Loving Memory)

*****

Pernahkah kalian sengaja pergi dari kehidupan seseorang agar orang itu mencari kita? Maka, itulah yang dilakukan Inara kepada Robi. Inara sengaja memblokir kontak Robi di tengah percakapan mereka di WhatsApp. Hanya saja, kenyataan pahit harus Inara dapati ketika Robi ternyata tidak peduli dan membiarkan Inara begitu saja.

Sedih, kecewa, hingga marah Inara rasakan. Robi tahu Inara menyukainya. Robi juga amat tahu bahwa Inara sedang gencar mencari perhatian Robi. Tapi, bukan sikap seperti itu yang Inara harapkan. Inara mau Robi menyadari betapa penting dirinya sebagai sahabat dan mungkin juga orang yang Robi suka.

Tiga bulan menunggu, akhirnya hari yang Inara tunggu datang juga. Tiba-tiba sahabatnya itu menelpon, memintanya bertemu siang ini di Chocoffee, kafe favorit keduanya. Inara tentu saja setuju. Dia bahkan langsung lompat dari tempat tidur dan buru-buru lari ke kamar mandi, melupakan kegiatan malas-malasan di minggu pagi ini.

Tepat pukul satu siang, Inara sudah berdiri di depan Chocoffee. Gaun panjang berwarna biru dongker berbahan spandek membalut tubuh langsingnya. Rambut yang sengaja digerai. Membuang sneaker kesukaannya dan memilih flatshoes. Riasan sederhana dan natural telah terpulas sempurna di wajahnya. Inara menghela napas sejenak. Kini gadis itu siap bertemu pujaannya.

Bunyi ting keras terdengar diikuti para pelayan yang secara otomatis menyambut kedatangan Inara. Siang ini kafe cukup ramai, tapi itu tidak menyulitkan Inara menemukan Robi. Pria itu sudah duduk di sudut ruangan, tempat kesukaannya. Ketika berjalan mendekat dengan jantung berdebar kencang, ada harapan terselip bahwa kali ini akan ada hal berbeda terjadi ketika pulang dari kafe ini.

"Nara," sapa Robi sembari beranjak dari kursi untuk menyambut kedatangan Inara.

Inara tersenyum lebar seraya menduduki kursi kosong di seberang Robi. Tangan Robi sontak terangkat untuk memanggil pelayan. Inara diam saja, ketika pria itu memesankan americano kesukaannya.

Keduanya memilih diam sambil melempar tatapan. Hingga pelayan datang membawa pesanan ke meja mereka, akhirnya Robi menghela napas dalam. Senyum tipisnya tersungging, menyadarkan Inara bahwa tiga bulan berlalu tidak ada yang berubah dari Robi di matanya.

"Bi," gumam Inara tanpa sadar. "Mau bicara apa?"

Salah satu jari Robi mengetuk meja, tampak gugup. Bayangan menyenangkan berputar di benak Inara. Biasanya pria akan gugup kalau ingin mengatakan sesuatu pada wanita yang dia anggap penting, pernyataan cinta adalah harapannya saat ini.

"Nara, gue mau minta maaf kalau semisal ada salah sampai lo ... blok gue," akhirnya Robi kembali buka suara.

Debaran jantung Inara menggila. Dia mengangguk cepat sambil menunggu kata-kata apa lagi yang akan Robi ucapkan setelahnya. Kini fokusnya hanya tertuju pada Robi saja.

"Kalau gue boleh tahu ... salah gue apa sampai lo mendadak menghilang kayak gitu? I mean, you blocked me."

"Gue ... gue ... mau lo cariin, Bi," akunya tanpa pikir panjang. Bagi Inara, menutupi kebenaran perasaannya pada Robi adalah hal sia-sia. Robi sudah mengetahui betapa Inara menyukainya, jadi, Inara lebih suka menunjukkannya. Lagipula cinta yang baik bukan hanya sekedar diungkapkan, tapi ditunjukkan melalui perbuatan.

Robi terdiam sejenak, lalu mengangguk mengerti. "Sori kalau gue nggak peka sampai harus bikin lo nunggu selama ini. Gue benar-benar sedang sibuk-sibuknya di kantor."

"Iya, nggak apa-apa kok, Bi. Gue senang lo akhirnya telepon gue," suara Inara terdengar bersemangat. Refleks dia menggenggam tangan Robi, namun tiba-tiba saja Robi menarik diri. Inara terkejut, tidak biasanya Robi menolak skinship Inara.

"Nara," panggil Robi sekali lagi. "Gue ... punya pacar. Nggak apa-apa, kan?"

Kedua mata Inara seketika melebar. Untuk sesaat jantungnya seolah berhenti berdetak. Jika maksud dari pertemuan ini adalah permintaan izin Robi, maka pria itu sangatlah keterlaluan.

"Lo minta izin gue?" Senyum Inara lenyap sudah.

Robi menggeleng. "Cuma kasih tahu, Inara."

Inara mengalihkan wajahnya. Matanya mulai mengitari setiap sudut kafe, berusaha untuk menahan emosi yang sudah menguasainya. Semua orang tertawa riang. Semuanya terlihat bahagia, hanya Inara saja yang sedang menahan tangis sekarang. Robi baru saja menorehkan luka baru di hati Inara.

"Lo ... jahat, Bi," gumam Inara tanpa bersusah payah menatap Robi.

"Gue tahu, Nara." Terdengar helaan napas panjang Robi. "Gue memang bukan sahabat yang baik. Bukan pula cowok yang bisa membalas perasaan lo."

Inara kembali menatap Robi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.

"Tapi bukan itu aja yang ingin gue sampaikan, Ra."

Tangan Inara terangkat, meminta Robi berhenti. Giliran dia yang menghela napas berulang kali sekarang. Hatinya belum siap mendengar apa pun yang akan Robi katakan. Inara takut bahwa akan ada luka baru lagi setelah ini.

Hanya saja Inara tahu, bahwa dia tidak bisa kabur. Pada akhirnya, gadis itu bergumam pelan. "Apa?"

"Gue dipindah tugaskan ke Bali, Ra. Awal bulan depan gue sudah kerja di sana. Ini alasan sebenarnya dari pertemuan ini. Gue nggak mau pergi di saat kita sedang tidak baik-baik saja."

Seketika suara ramai di sekitar Inara lenyap begitu saja. Bahkan, suara Robi juga turut menghilang. Kali ini bukan luka saja yang Robi berikan kepada hatinya, melainkan dia sudah menghancurkan hati Inara. Mungkin Inara bisa menerima berita mengenai pacar baru Robi, tapi tidak dengan kepergian pria itu.

Jarak ratusan kilometer. Dua pulau yang berbeda. Bayangan akan sosok yang semakin sibuk, lalu lama-lama menghilang dan melupakannya. Inara belum siap kehilangan Robi dalam arti sebenarnya.

"Bi." Tanpa bisa Inara cegah, air matanya perlahan mengaliri pipinya. Dia terisak pelan.

"Nara, jangan nangis."

Inara menggeleng pelan, tidak bisa. Hatinya kali ini benar-benar hancur berkeping-keping. Mungkin sudah menjadi pecahan kecil yang siap pelayan kafe ini sapu di lantai. Jika Inara bisa memutar ulang waktu, dia tidak akan pernah menghilang dari hidup Robi. Penyesalan memang selalu datang terakhir dan hanya membuat menangis saja.

Doanya kali ini terkabul, Inara akan pulang dari kafe ini dengan hal berbeda. Gadis itu pulang dengan kehilangan Robi dari hidupnya. Mungkin selamanya.

*****

BAND AIDWhere stories live. Discover now