EPILOG

40.1K 3K 78
                                    

I would never dare Let go
Through the talkin' and the walkin'
I will give you all my lovin'
Start countin' all the days
Forever I will stay with you

(Pamungkas - One Only)

*****

Untuk kesekian kalinya, Inara melahap makanan ringan di meja. Bahkan, sejak jam masuk kantor hingga tiga jam berlalu pun, mulut gadis itu tidak juga berhenti mengunyah. Semua rekan kerjanya saja sampai terheran-heran, tapi tidak dengan gadis itu. Di kehamilan yang sudah memasuki empat bulan, dia tidak bisa berhenti makan. Berat badan naik. Bentuk tubuh perlahan mulai berubah. Wajar kata dokter, hanya saja, dia jadi sedikit sulit berjalan.

"Woy!" teriakan diikuti tepukan pada bahu Inara, sontak membuat gadis itu mendongak.

Farel, atasan sekaligus tim proyek tengah berdiri di hadapannya. Pria itu menyunggingkan senyum. Sedangkan tangannya membawa sebuah laporan untuk disodorkan pada Inara.

"Revisi," jelas pria itu sambil menggeleng pelan. Ekspresinya terlihat heran. "Ra, ra, akhir-akhir ini aku perhatiin kamu makan mulu. Maaf ya, maaf banget, kamu jadi ngingetin sama kakakku yang sedang hamil deh."

Seketika mata Inara melebar. Refleks, dia menyentuh kedua pipinya. Gadis itu terlihat panik. "Aku gendutan ya, Pak Farel? Aku jadi jelek ya?"

"Kamu cantik, Ra."

Balasan yang bukan berasal dari Farel, berhasil menarik perhatian keduanya. Terlebih nada suara itu terdengar dingin. Keduanya segera menoleh menuju sumber suara, begitu pula dengan orang-orang yang mendengarkan.

Narendra berdiri di antara kubikel. Terlihat menawan dalam balutan baju kerjanya; kemeja polos cokelat muda dengan celana khaki. Wajah pria itu tidak berekspresi. Sementara tangannya membawa paperbag merah muda. Dengan langkah tegas, pria itu mendekati Inara. Saat mata mereka bertemu, ada seulas senyum yang pria itu pamerkan.

"Nasi uduk pesanan kamu," bisik Narendra seraya berlutut di hadapan Inara. Membuat Farel mundur beberapa langkah untuk menjauh sekaligus menyaksikan adegan tidak terduga siang ini. "Mau pesan apa lagi, Ra? Obat kamu jangan lupa diminum."

Inara mengangguk singkat. Senyum gadis itu terpasang lebar. "Ini aja. Makasih ya, Re."

Narendra mengangguk pelan. Tangan pria itu mengusap puncak kepala Inara dengan sayang. "Jangan bekerja terlalu keras, Sayang. Farel akan membantumu nanti. Benar kan, Farel?"

"Eh iya, Pak."

"Good. Jangan membuat istri saya kecapekan, dia sedang hamil muda. Kalau begitu saya tinggal." Narendra kembali beranjak, lalu berjalan menjauh.

Mendengar fakta yang Narendra ucapkan, kini seluruh orang di divisi Inara mengelilingi Inara. Dia yang sedang duduk, jadi harus mendongak karena semua orang mendadak menjulang di hadapannya. Semua orang terlihat penasaran dan menuntut penjelasan.

Perlahan, Inara ikut berdiri. Ada seulas senyum lebar yang dia pasang. Sekalipun pernikahan mereka sudah berjalan lebih dari dua bulan atau tepatnya dua minggu setelah lamaran siang itu. Namun, baru siang ini Narendra dengan santainya mempertontonkan kasih sayangnya di depan bawahan pria itu.

Semua orang terdengar berbahagia mendengar kisah Inara. Ketika mereka menuntut pesta pernikahan setelah melahirkan, Inara tertawa. Kepala gadis itu tanpa sadar menoleh menuju ke tempat Narendra berada. Dia terkejut sesaat karena menemukan prianya juga tengah menatapnya dari kejauhan.

Mata mereka bersirobok di udara, membuat Inara menghela napas dalam diikuti senyum terlewat lebar. Sampai di titik ini tidaklah mudah. Mereka harus berjuang bersama untuk melepaskan masa lalu agar bisa bahagia. Kini keduanya tahu, mereka diciptakan untuk menjadi plester luka di hati masing-masing. Karena tanpa salah satu, maka luka di hati tidak akan pernah sembuh.

*****

END

BAND AIDWhere stories live. Discover now