NEW SCARS #4

22.8K 2.5K 16
                                    

Tell me how to be in this world
Tell me how to breathe in and feel no hurt
Tell me how could I believe in something
I believe in us
(James Bay - Us)
*****

Pulang ke tempat masing-masing. Kembali menjalani rutinitas sebelum mereka tinggal bersama bukanlah perkara mudah. Banyak hal yang mereka rindukan, termasuk menghabiskan malam di sofa bed sembari berpelukan dan menonton Netflix.

Untuk saat ini, Inara terpaksa mengungsi ke apartemen Narendra. Tentu saja ini berkat insiden mereka menangis dan berpelukan kemarin. Ivan langsung meneror sebelum hal tidak benar itu terjadi kembali. Mengusir prianya jauh-jauh dari rumah. Bukan hanya itu saja, kakaknya juga membuat jam malam untuk gadis itu. Membuatnya tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama, apalagi malam di apartemen Narendra.

"I miss us," keluh Inara. Gadis itu sudah tidak tahan dengan kelakuan Ivan. Pernikahan mereka yang tertunda akan menambah daftar panjang larangan-larangan lain.

Narendra merunduk, memusatkan perhatiannya pada sang kekasih. Dia menghela napas dalam sembari mengusap pelan puncak kepala Inara. "I miss us too, babe."

Pria itu segera memberikan ciuman kilat di bibir Inara. Bukan hanya sekali, tapi ternyata berkali-kali. Gadis itu terbahak kencang saat merasakan gelitikan Narendra di perutnya. Dia benar-benar merindukan pria ini. Setiap kali bersama dengan prianya, dia selalu berharap waktu melambat atau mungkin berhenti saja.

"Re ...," panggil Inara saat akhirnya ciuman mereka berhenti. Narendra hanya bergumam pelan sebagai respon. "Apa kamu benar-benar tidak ingin menikah?"

Raut wajah Narendra seketika berubah. Inara tahu dia salah membahas ini sekarang, tapi dia penasaran saja. Gadis itu tidak munafik, dia masih ingin ada pernikahan. "Kalau kamu tidak mau menjawab tidak apa-apa."

"Bukan gitu, Ra." Narendra mulai bersuara. Pria itu mendesah. "Saya hanya tidak punya jawaban. Perasaan saya ke kamu itu nyata, saya mencintaimu. Hanya saja, di satu sisi saya takut dengan pernikahan, tapi kamu satu-satunya orang yang berhasil bikin saya kembali percaya bahwa cinta tulus itu nyata."

"Naren ...." Kata-kata seketika hilang dari mulut Inara. Dia tersanjung dan juga bersyukur.

Untuk sesaat gadis itu tertegung. Ada satu hal yang baru dia sadari sekarang, mengenai rencana indah Tuhan. Seluruh perjuangan dan pengorbanan yang dia lakukan dulu ternyata bukan untuk Robi, melainkan Narendra. Tuhan sengaja membawanya ke sini. Mempertemukannya dengan Narendra, bukan hanya untuk mengobati luka hati Inara, tapi juga luka hati pria itu.

Perlahan Inara mengusap dada Narendra sembari menatap dalam pria itu. "Kita ke psikolog yuk, Re. Kita sembuhkan pelan-pelan trauma masa lalumu, kamu ... mau, kan? Saya nggak maksa."

"Ra. Kamu benar-benar masih ingin menikah?"

"Narendra ... saya mau menikah suatu hari nanti. Sekarang yang terpenting adalah menyembuhkan luka masa lalumu. Masa lalu yang menahanmu untuk melangkah maju itu tidak baik terus ada bersamamu. Lepaskan, Re."

Pria itu tidak langsung menjawab, hanya menghela napas dalam berulang kali. Namun, akhirnya mengangguk pelan. "Jika hal ini bisa membuatmu merasa nyaman dan senang, saya mau. Mari kita ke psikolog."

Refleks, Inara memekik senang. Gadis itu menghujani Narendra dengan kecupan-kecupan ringan di bibir pria itu. "I love you ...."

Mereka tertawa bersama. Hingga Inara yang menghentikan aksi pria itu. Sambil mendorong pelan tubuh Narendra, dia tersenyum kecil. "Saya lapar. Kamu mau kan belikan saya makanan langganan kamu? Penasaran, apakah benar-benar bersih?"

Narendra tergelak. "Astaga, Ra. Baiklah, saya belikan dulu. Tunggu di sini."

Tanpa berlama-lama, Narendra segera beranjak dari sofa. Buru-buru pria itu keluar apartemen, hanya membawa dompet tanpa ponsel dan kunci mobil.

BAND AIDWhere stories live. Discover now