Amnesia

20.8K 1.1K 56
                                    

"Ngi...dam??" Suara lemah orang lain membuat Beni langsung tersentak dan menoleh ke arah asal suara.

Di atas ranjang pasien terlihat Caca yang menatap ke atas dengan pandangan yang kosong. Beni segera meraih tangan Caca dan memanggil namanya penuh rasa syukur.

"Kamu sadar Ca? Alhamdulillah ya Allah," syukur Beni.

"Ca? Caca?! CACAAA!!!"

Beni kembali panik saat secara perlahan mata indah itu kembali menutup.

"Re, panggil dokter Re! Kenapa Caca gak sadar lagi? Buruan panggil dokter Re!" suruh Beni tanpa melihat ke arah Rere.

Rere mendengus, "alah paling drama dia! Nih aku pukul biar bangun." Rere baru akan menyentuh tubuh Caca saat Beni secara kasar menepis tangan bahkan mendorong tubuh Caca.

"Don't touch her!" ucap Beni dingin.

Rere mematung, Beni tidak pernah sekasar itu padanya. Tapi lihat sekarang, hanya karena ia mau menyentuh si wanita mandul ini Beni langsung menyakitinya. Rere mendengus keras mengetahui masih sedalam itu cinta Beni pada Caca.

"Kamu ngapain bengong? Buruan panggil dokter!" suruh Beni yang makin terlihat panik.

"Yaelah, ngapain banget keluar manggil dokter. Nih tinggal pencet tombol ini juga dokter akan datang," ucap Rere sambil melangkah kemudian menekan tombol merah yang berada di dinding atas ranjang. "lebay banget sih." cibir Rere.

Tak berapa lama dokter datang dengan seorang suster,

"Dok, tadi istri saya bangun dan mengucap sesuatu tapi saat saya panggil dan dekati dia kehilangan kesadarannya lagi. Istri saya baik-baik aja kan dok?"

"Sebentar ya Pak, biar saya periksa dulu." ucap dokter sambil melangkah ke arah ranjang Caca.

Dokter terlihat sangat serius memeriksa Caca, mulai dari menyenter mata, mendengar detak jantung Caca, mengecek nadi Caca dan lain sebagainya. Dokter melakukan semua sesuai prosedur tapi entah kenapa ada perasaan aneh di hati Beni saat melihat Caca di sentuh oleh dokter pria tersebut.

"Apa di rumah sakit ini tidak ada dokter  wanita?" batin Beni.

"Alhamdulillah, selamat Pak, bu Caca sudah melewati masa kritisnya. Dia akan segera sadar sebentar lagi, saya juga sudah menyuntikkan obat pada bu Caca agar kondisi nya lebih fit. Bapak sangat beruntung, bu Caca orang yang kuat dan tegar, padahal saya sempat pesimis setelah operasi kemarin tapi sekarang saya yakin bu Caca akan kembali sehat." jelas dokter.

Beni tidak menangkap semua perkataan dokter, ia hanya mendengar Caca akan sadar lalu dokter itu memuji-muji istrinya dengan mata yang berbinar. Apa itu suatu tindakan yang profesional? Atau jangan-jangan dokter itu menyukai Caca? Pikiran Beni mulai melantur kesana-sini memikirkan semua kemungkinan yang tidak jelas adanya.

"Tuh kan mas, si Caca sebentar lagi bangun. Udah ah, ayo pulang! Aku capek nih, kita kan mau beli seblak juga."

Tarikan di lengan Beni dan suara nyaring Rere membuat Beni tersadar. Sedangkan si dokter terlihat biasa saja menyaksikan pertunjukkan di hadapannya.

"Kami permisi dulu," pamit dokter kemudian pergi meninggalkan ruang inap Caca.

"Mas! Ayok pulang!" ajak Caca lagi, tapi Beni menggeleng.

"Aku gak bisa tinggalin Caca sampai kondisi nya benar-benar stabil. Kamu bisa pulang sendiri? Caca gak punya siapa-siapa di Jakarta, aku harus pastiin dia benar-benar baik baru aku bisa pergi." terang Beni.

Setelahnya, Beni memilih duduk di sebelah Caca sambil terus mengusap tangan istrinya. Sedangkan Rere berjalan menghentak-hentak dan duduk di sofa yang tersedia disana. Dalam hati ia terus saja menggerutu dan mengatai Caca dengan semua kalimat yang terlihat di kepalanya.

"BECCA" ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now