Tangkai 3 : Kuceritakan Tentang Cinta

4 0 0
                                    

Friday, 3 Maret 2003

Faradissa: Something so beautiful in your eyes

Aku kembali di ajak ke sini. Ke mahzab yang selalu membuatku malu dan kikuk. Sebenarnya aku enggan, tapi selalu aku kalah melawan paksaan. Temanku itu mampu menyeretku pada suatu kesetujuan yang memberatkan hati. Dan beginilah jadinya. Aku bagaikan perempuan yang telah putus urat malunya. Aku berada diantara kerumunan manusia yang berbeda jenis denganku. Begitu membludak bagaikan semut yang mengerubungi sebutir gula.

Yang kuherankan. Temanku itu benar-benar seperti perempuan hilang harga diri. Dia tenang-tenang saja melaju menembus samudera laki-laki—tanpa sedikitpun bertanggung jawab atas kesalah tingkah polah yang kulakukan—Bodoh. Kurasa ku memang telah bodoh karena memutuskan menemaninya ke tempat ini. Berkali-kali ku mengutuk diriku. Sekaligus mengutuknya. Perempuan yang selalu membuatku mengalami hari-hari aneh dan menggemaskan.

Kulihat dia menoleh. Lalu memberi isyarat untukku lebih cepat melangkahkan kaki. Aku mendengus kesal. Apakah menurutnya beradu lari dengan para lelaki itu menyenangkan? Apakah nyaman ketika menyadari beratus pasang mata memandangmu penuh curiga? Kijang saja akan lari terkacir-kacir ketika menyadari dirinya berada di kawanan jerapah, bagaimana mungkin aku tidak ngacir ketika menyadari aku tengah bertandang di rumah para pujangga?

Daripada ku bersumpah serapah dalam hati, akhirnya kuputuskan untuk mempercepat langkahku, eh bukan aku sudah berlari, aku berlari bahkan mendahuluinya, meninggalkannya dalam kerumunan itu. Ku tengok dia sekali, dan kudapati perempuan berkulit kecoklatan itu, santai-santai saja dengan langkahnya yang bisa dibilang seperti bekicot hamil kembar lima. Huh, aku semakin tidak bisa membaca apa yang tertulis di benak sahabatku itu.

Di tangga gedung Mekkah, salah satu gedung milik mahzab, lokasi yang menjadi tujuan utama kami, aku berdiri sembunyi sambil menanti kedatangan Zaskia, sahabat gilaku yang mungkin nanti akan membuatku gila juga, jika aku tidak segera minum obat anti depresi. Kutunggu lima menit. Tapi ujung hidungpun tak nampak darinya. Kekesalan mulai merasuki batinku. Kemana saja anak itu? Apakah untuk menuju ke sini, dia melalui jalur pantura dahulu, atau malah terjadi sesuatu dengannya, seperti terinjak-injak massa yang semua berpredikat laki-laki itu?

JEDUAARRR!!!

Aku merasa suatu benda keras menimpa kepalaku. Entah apa, tapi tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan pening. Sejurus kemudian detak bola pimpong yang jatuh ke undakan tangga menarik perhatianku. Kuikuti kemudian kupungut bola unyil berwarna kuning itu, lalu ku kembali ke tangga atas. Tapi belum sampai ku ke tempatku semula menanti Zaskia, seorang laki-laki gembul mendatangiku. Dia tersenyum dan mengisyaratkan bahwa bola yang berdiam di tanganku adalah punyanya. Aku langsung mengerti maksudnya lalu kuberikan bola itu padanya. Dia mengangguk senyum dan kembali ke lantai dua. Kulirik sekilas beberapa orang yang ternyata berada di sana. Ruang lapang yang sepertinya sengaja didekorasi sebagai tempat untuk berolahraga. Tampak satu meja pimpong dan beberapa kursi. Ahhgg, betapa malunya. Apa mungkin telah sejak lama mereka menemui keberadaanku di sini? Apa mereka akan berpikir aku adalah perempuan "bermasalah" karena berani-beraninya "nongkrong" di tempat yang tak seharusnya?

Huff. Sekali lagi kukutuk Zaskia.

<<*aulya*>>


Mata ke hati. Dari situlah datangnya cinta.

Telinga ke hati. Darinyalah cinta mendapati kekuatannya.

Hati ke laku. Darinyalah cinta akhirnya menemui wujudnya.

"Kamu tidak mengenalkan kami Zas?" seorang laki-laki yang sebelumnya kulihat sedang bermain pimpong dengan laki-laki gembul, memainkan perannya, mempesonaku dengan auranya, melemaskanku dengan suaranya yang begitu lembut nyiur, dan membuatku tak berdaya dengan segala keramahannya.

Diary Bicara CintaWhere stories live. Discover now