6. Gitar Tua Itu

275 77 9
                                    

Sambil mengengam dinginmu, semoga nada-nada lagu itu tidak sumbang, tidak hilang, terus berlanjut hingga akhir, dan tolong jangan pergi.
☔☔☔

"Ada banyak manusia yang berbicara menggunakan musik."

"Berbicara menggunakan musik?" tanyanya memiringkan kepala.
Ibu tertawa memperhatikan pipi gembulnya yang berayun, jenis tawa mengudara dengan rasa renyah nan manis. Sedang kan si kecil Haysel matanya mengerjap beberapa kali tak mengerti mengapa ia ditertawakan.

Gemas akan tingkah laku tersebut, jemari ibu terulur mengelus pelan pipinya, walau kulit jemarinya terasa sedikit kasar. Anak laki-laki itu menikmati kehangatannya.

"Iya," bilangnya.

"Sesuatu di dalam sana, gak bisa menjelaskan banyak hal dengan baik."

Si anak laki-laki makin kebingungan ketika Ibu menunjuk ke arah jantung berdetak.

"Apa itu?"

"Tangga lagu."

"Hah?"

Ibu lagi-lagi tertawa, dan Haysel kecil tak pernah paham yang dimaksud Ibu padanya. Ibu adalah sesuatu yang lebih sulit daripada menyusun lego-legonya atau pecahan puzel puzel terbelah. Haysel kecil tak pernah mengerti setiap kali mengapa Ibu selalu membicarakan sesuatu dengan kosakata aneh. Tapi satu hal yang Haysel tahu, Ibu punya suara yang lebih indah dari siapapun di dunia ini. Bagaimana alunan senandung atau nada-nada mengisi oksigen bagi Haysel. Di setiap harinya, ketika ia terluka, ketika ia tersandung batu, atau selepas ia pulang dari berantem dengan anak lain dari komplek sebelah. Ibu selalu ada. Di sana. Di teras belakang mengobati luka, menghiburnya dengan lagu, memangku gitar, memetik senar dan menciptakan tawa.

Lalu suatu hari Ibu pernah bertanya "Mau Ibu ajari gitar?"

"Gak mau, ribet ah, nanti jarinya sakit-sakit."

"Tapi kalau berantem sampai masuk selokan gak sakit ya?" Ibu terkekeh.

Sedangkan si anak manyun dikatain begitu.

Ibu pernah bilang kalau hidupnya adalah tangga lagu yang tersusun rapi, entah apa itu. Ada satu kalimat yang pernah Haysel benci keluar dari mulut Ibu, jika seandainya Ibu memilih membuang beberapa nada dalam hidupnya dan mengakhiri lagu panjangnya di teras belakang.

Haysel selalu ingin, selalu berharap bahwa senandung Ibu tidak pernah berhenti memetik senar gitarnya hingga putus. Selalu ingin duduk di sampingnya, mendengar, ikut bernyanyi. Setiap harinya.

Tapi Ibu pergi.

Dan Haysel adalah nada yang dihapus Ibu dalam hidupnya.

Ibu pergi.
Dan Haysel benci untuk pergi mencari.

Ada banyak kenang menguar dalam kotak memori, meski berkali-kali, walau setiap hari.
Haysel merasa sendiri.

Jalanan ramai riuh redam, pandangan hampa menatap setiap langkah-langkah datang pergi. Menyaksikan tawa-tawa, luka-luka, dan fatamorgana.

Terik matahari menyengat hendak turun, Haysel tak beranjak. Masih di sana, pada tepi trotoar, menanti entah untuk apa. Ia hanya ingin.

Celana sekolah dengan kemeja kotak-kotak hitam kuning kebangaannya, tas gitar di punggung beserta celah-celah luka pada jengkal punggung tangan. Ditatapnya setiap bekas kering darah, tangannya bergetar tapi ia tersenyum kecil.

Betapa ada banyak hal bisa ia hancurkan dalam satu detik waktu.

"Kenapa orang-orang keliatan bahagia ya?"

Satu dua hal Haysel lelah bertanya pada angin berlalu mengenai kenapa semua hal dalam hidupnya banyak yang berpindah haluan.

Terbatuk-batuk menghirup asap knalpot hitam pekat yang menganggu acara mengalaunya di pinggir jalan, Haysel mengumpat entah untuk siapa.

Desir ArahWhere stories live. Discover now