Nine

4.5K 345 22
                                    

Vote dulu. Baru baca. Bisa dikomen juga

✌✌✌

Mata Dante yang tertutup kacamata hitam itu melengkung tanda senyuman di bibirnya terlalu lebar.

Segera pria itu menunduk untuk menyembunyikan, lalu kembali melihat gadis yang tergopoh dengan banyak bawaan di tangannya.

"Pulang kampung beneran lo, Vo? Ini bawaan lo kek mau pindahan loh." Tia langsung menghampiri Evo yang nyengir dengan tangan masih sibuk memegang barang-barangnya.

"Cuma oleh-oleh buat keluarga gue, Ti. Maklumin anak rantau yang jarang pulang, yak?" Evo terkekeh.

Tia hanya menggeleng, lalu berteriak. "Fikri! Bantuin temen kampungan lo nih. Bawaanya banyak banget."

Fikri langsung berlari mendekati mereka. "Evo si anak kampung," seru Fikri sarkas.

Gadis itu hanya mendelik sekilas sebelum kembali terkekeh bersama kedua rekan kerjanya itu.

Langkah Evo terhenti saat melihat Dante yang berdiri di samping direktur mereka, dokter Arnav, yang sedang menelpon seseorang.

Meski mata laki-laki itu tertutup dengan kacamata hitam yang dipakainya, Evo tau bahwa Dante sedang melihatnya.

Dengan segala kesadaran, Evo menarik sudut bibirnya, tersenyum lebar. Hatinya benar-benar sangat bahagia hanya dengan membayangkan bisa bertemu kedua orang tua dan adiknya.

Dan semua itu karena pria yang tidak membalas senyumnya. Evo tidak peduli. Toh Dante memang sangat sulit untuk tersenyum.

Dante kembali menunduk setelah gadis itu berlalu pergi bergabung dengan rekannya yang lain.

Setelah bersusah payah menahan senyuman, Dante dengan impulsif membiarkan matanya kembali melengkung karena bibirnya yang terangkat.

Dilirik sang paman yang masih sibuk dengan panggilan diponselnya. Itu pasti sang Bibi yang marah-marah karena tidak di ajak ikut keluar kota oleh pamannya.

Dante menyenggol lengan Arnav dengan cukup kuat. Membuat pamannya itu hampir terjatuh yang menciptakan delikan dari Arnav.

Dante terkekeh melihat wajah Arnav yang kesal. Bagaimana pun, Dante harus berterima kasih pada pamannya itu. Jika bukan karna Arnav, Dante mungkin tidak bisa melihat wajah bahagia dari gadis yang sedang tertawa bersama rekan-rekannya itu.

"Paman denger, ada salah satu perawat tim kamu yang asli orang Jambi."

Dante melirik pamannya yang pura-pura sibuk melihat-lihat bunga di vas atas meja tamu. Lalu tersenyum penuh arti setelah menyandarkan tubuhnya di lengan sofa.

"Hm." Dante sengaja hanya bergumam tanpa mau bersitatap dengan Arnav yang diyakini sudah melihatnya dengan wajah jahil.

"Namanya Evolet kalo gak salah." Arnav pura-pura berpikir. "Tadi paman juga ketemu dia di luar. Kalo gak karena dia, mana paman tau kamu ada di ruangan."

Dante menghela napas bosan. Meletakkan penanya dan melihat ke arah Arnav yang tersenyum usil.

"Jadi intinya paman mau ngomong apa? Langsung aja, lah."

Terdengar kekehan puas dari Arnav. Dan itu membuat Dante menghembuskan napas kasar.

"Kamu beneran gak berniat ngajakin dia buat ikut seminar dan workshop di Jambi?"

"Enggak. Dia itu... pembuat onar," jawab Dante kembali melihat kerjaannya. Sedang Arnav mencebik tak percaya.

"Dia pasti bakal hepi banget kalo diajak. Siapa yang gak suka sama pulang kampung, yekan? Si Evolet anak rantau begitu."

DAN (Sudah Pindah Ke Ican Novel Dan Kubaca)Onde histórias criam vida. Descubra agora