BAB 1 - Vonis (Part 2)

10.3K 915 68
                                    

Raga menunduk, bunyi konstan dari bedside monitor menemani bungkamnya, sejalan dengan bagaimana detik yang tak pernah gagal untuk menikam lelaki itu. Sudah lima belas menit berlalu dan Raga masih kesulitan menemukan suaranya. Tenggorokannya terasa gersang, salivanya mendadak berubah sekeras batu.

Perlahan pandangannya naik menatap jemari kurus yang terjepit oksimetri di hadapannya, kabel-kabel yang terpasang di dada Aska membuat lelaki itu sesak, lebih-lebih dengan dua infus yang bertengger di tangan kiri dan kanannya. Tangan Raga terangkat menyentuh dada Aska yang tak kunjung menemukan iramanya, padahal masker oksigen sudah tersemat di wajah anak itu.
Raga menarik tangannya dan mengalihkan pandangan. Melihat Aska tertidur seperti ini membuatnya remuk. Fakta bahwa tak ada yang bisa ia lakukan cukup untuk membuat Raga merasa gagal menjadi seorang kakak.

Lelaki itu beralih meremas tangannya sendiri, ia mendongak, mengerjap berkali-kali guna menghalau cairan di pelupuk mata untuk tidak merembes keluar. Namun, harusnya ia sadar, jika sudah soal Aska, lelaki itu paling tidak bisa mempertahankan usahanya. Pada akhirnya ia tetap gagal. Sesak di dada tak bisa ditampung terlalu lama. Jawaban atas sakitnya kali ini adalah kristal bening yang berhasil menerobos pertahanannya.

Raga tersenyum getir, menurunkan pandangan menatap sang adik. Tangannya kemudian naik, menggenggam jemari kurus milik anak itu yang sedari tadi coba ia hindari.

"Lucu. Lo bikin gue cengeng lagi." Raga tak mampu menahan getaran dalam suaranya.

Ucapan Byan beberapa saat lalu kembali memenuhi benaknya. Raga terkekeh hambar, ia mengusap kasar air mata yang masih saja mengalir.
Aska tidak akan bertahan lebih dari enam bulan.

Bullshit! Bagaimana bisa ayahnya mengatakan hal konyol itu? Aska akan hidup jauh lebih lama darinya. Adiknya tidak akan terkalahkan semudah itu. Sejauh ini ia sudah berhasil bertahan. Lalu, bagaimana bisa mereka mengatakan tentang sisa hidup adiknya? Siapa mereka? Tuhan? Atau malaikat pencabut nyawa?

"Ka," panggilnya pelan. "Mereka bilang lo bakalan mati. Lucu, ya, mereka mendahului takdir Tuhan." Namun air mata lelaki itu terus saja berjatuhan. "Padahal rezeki, jodoh, maut itu rahasia Tuhan, tapi mereka dengan entengnya menetapkan waktu kematian seseorang." Raga terus mengoceh dengan suara bergetar.
"Lo harus bangun." Raga mengusap jejak air matanya. "Lo harus buktiin kalo apa yang mereka bilang itu salah."

Raga menarik napas, rasa sesak itu mencekiknya. Sakit yang tertumpuk di dada membuat lelaki itu hilang kendali.

"Lo masih ingat, ‘kan, apa yang gue bilang tiga tahun lalu yang lo ketawain sampe nangis?" Raga menjeda kalimatnya. Ia menunduk sejenak, memejamkan mata, memeras rinai yang menumpuk di pelupuknya, sebelum kembali menatap wajah pucat sang adik. "Gue nggak bakal bisa hidup tanpa lo," ujarnya sungguh-sungguh. "Dan itu berlaku sampai detik ini."

Raga melepas genggaman tangannya pada jemari Aska. Ia beralih mengelus lembut surai hitam milik adiknya. "Makanya lo harus bangun." Bibir lelaki itu bergetar. "Lo harus bangun untuk menyelamatkan nyawa gue."
Raga lantas menunduk kala isak tangisnya sudah tidak bisa lagi ditahan. Kini bukan hanya bunyi konstan bedside monitor yang mengisi ruangan itu, isak pilunya pun mendominasi di sana.

"Sekali aja, Ka, sekali aja biarin gue egois."

Selalu seperti ini. Sekuat apa pun pondasi yang ia bangun, selalu berhasil runtuh jika sudah berkaitan dengan kondisi adiknya. Ucapan Byan menghantuinya. Ia ketakutan setengah mati saat mendengar penjelasan ayahnya.

Raga bersumpah tidak ingin memercayai itu. Namun, kenyataan menamparnya lagi. Membawanya pada realita yang harus ia terima. Lelaki itu sadar akan waktu yang terus berjalan dan mengurangi sisa hidup adiknya.

25 Wishes Before Die [TERBIT]Where stories live. Discover now