BAB 4 - Putih di atas hitam (Part 1)

6.1K 704 43
                                    

"Semua yang tertawa bukan berarti bahagia
Mungkin itu adalah upaya
Agar takdir tak lagi membuatnya terluka"

🕊️🕊️🕊️

Suara musik elektronik yang menghentak tak mengusik sosok yang tengah duduk di depan meja bar. Ingar bingar di ruangan itu tak ia pedulikan. Raka hanya meneguk cairan kuning di dalam gelasnya, membiarkan rasa pahit dan sensasi keras itu merayap di tenggorokan.

"Mau mabok lagi?" Kanta meletakkan sebotol whiskey yang baru saja Raka pesan di atas meja. Bartender tampan itu lantas duduk di hadapan Raka, mumpung sedang tidak ada pelanggan.

Raka tak menghiraukan pertanyaan Kanta, ia justru mengambil botolnya, berniat untuk menuangkan isinya pada gelas yang kini sudah kosong kembali. Namun Kanta langsung mengambil alih botol tersebut lalu menuangkannya untuk Raka. "Minum terus lo, nggak baik buat kesehatan." Kanta bangkit setelah mengucapkan kalimat itu. Beberapa pemuda tertangkap oleh netranya memasuki kelab.

Raka mengangkat satu sudut bibirnya, ia meneguk whiskey-nya sekali lagi.

Mending sakit ae biar diperhatiin. Itu yang Raka pikirkan. Aska selalu menjadi nomor satu karena anak itu sakit, dia sekarat. Bagaimana jika Raka yang berada di posisi anak itu, Arini pasti juga akan memperhatikannya, ‘kan?

Raka mendengkus, ia kesal sendiri dengan pikirannya. Lelaki itu lantas mengambil botol minumnya lagi, hendak menuangkan whiskey ke gelasnya, tetapi urung karena ia langsung mencekokkan botol itu ke mulut. Memejamkan mata, membiarkan cairan keras itu mengebaskan tenggorokannya. Raka terkekeh, ia mulai kehilangan kesadaran. Bayangan Arini dan Aska berputar secara bergantian dalam benaknya. Membuat sesak itu benar-benar menumpuk di dada.

Getaran dalam saku celana membawa tangan Raka untuk mengambil ponselnya. Dengan tatapnya yang sudah mulai berbayang, samar-samar Raka dapat menangkap nama bundanya tertera di layar ponsel. Lelaki itu mendengkus, ia kemudian menjawab panggilan, bukan untuk menempelkan benda itu di telinga, melainkan hanya diletakkan di atas meja bar. Membiarkan hentakan musik hip-hop menyambut Arini di seberang sana.

Jangan salahkan Raka jika bersikap seperti ini. Arini sendiri yang sudah pergi darinya, apa salah jika Raka juga tak ingin kembali?

Saat lelaki itu hendak meneguk minumannya lagi, Kanta langsung merebut botol dari tangannya. "Nggak mau pulang lo, hah?" Mata Kanta lantas bergeser pada ponsel yang tergeletak di dekat Raka, lelaki itu langsung terbelalak saat mendapati panggilan sedang tersambung. Buru-buru Kanta menekan ikon merah untuk mengakhiri hal gila itu. "Goblok!" sentaknya kemudian, ia menatap si empunya ponsel tak percaya.

Raka balas menatap Kanta beberapa detik, mendadak hatinya terasa begitu sedih. Rasa panas di tenggorokannya menjalar naik ke mata hingga mendorong cairan bening itu untuk muncul ke permukaan. Perlahan rinai itu berhasil lolos dari sudut mata. Kanta menghela napas, ini bukan kali pertamanya.

Raka menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan, disusul dengan bahunya yang mulai bergetar, isaknya terdengar di sela-sela suara musik yang memekakan telinga. Kanta mengembuskan napas kasar sembari mengusap rambut cokelat miliknya. Ia kemudian meletakkan botol whiskey di atas meja, berkacak pinggang menatap Raka yang masih menangis.

"Men, ambil alih bentar, ya." Kanta menoleh menatap rekan kerjanya di belakang. Setelah mendapatkan persetujuan ia lantas keluar, menepuk bahu Raka beberapa kali sebelum melingkarkan tangan lelaki itu di tengkuknya.

25 Wishes Before Die [TERBIT]Where stories live. Discover now