BAB 2 - Pelajaran Kecil (Part 1)

8.8K 959 87
                                    

"Terkadang yang tampak itu hanya bagaimana kamu terluka, padahal sudah tak terhitung banyaknya bahagia yang kamu punya."

🕊️🕊️🕊️

Aska termenung menatap ke luar jendela. Pikirannya melanglang buana, membongkar kembali ingatannya tentang kejadian beberapa hari lalu, di mana tubuhnya kembali tak bisa dikontrol, beberapa kali ia mengalami kejang-kejang dan emosi yang tidak stabil. Aska sadar, kondisinya memang semakin memburuk. Napasnya pun masih terasa berat.

"Kalo mati semuanya akan berakhir, ‘kan?"

Bodoh. Apa yang ia pikirkan sampai mengatakan hal itu kepada Raga? Aska percaya semua yang bernyawa pasti akan mati. Tapi apakah ia harus mati sia-sia? Lima tahun itu bukan waktu yang singkat, jika di setiap sakitnya bernilai lima puluh ribu, maka mungkin Aska sudah mengumpulkan uang yang cukup untuk membangun gedung basket lima tingkat.

Begitulah kira-kira gambaran perjuangannya selama ini. Lalu apakah ia akan menyerah begitu saja? Membiarkan sel kanker itu mengambil alih tubuhnya? Tentu, itu bukan style Aska sama sekali, lelaki itu tidak akan pernah membiarkan siapa pun mengambil apa yang telah menjadi miliknya. Maka dari itu Aska tidak akan menyerah. Sungguh, sedikit pun ia tidak ada keinginan untuk membiarkan sel kanker itu menang.

Sikap kekanakannya kemarin itu karena ia terlalu shock. Memang siapa yang tidak akan terguncang jika hidupnya divonis bertahan dalam waktu enam bulan saja? Sekuat apa pun Aska jika sudah mendengar hal itu pasti ia tidak akan bisa mengontrol dirinya. Namun, sekarang Aska sadar, bersikap kekanakan seperti itu tidak akan mengubah apa pun.

"Sus," panggilnya.

Wanita yang sedari tadi duduk di sofa sembari menulis sesuatu itu lantas mendekat. "Kamu butuh sesuatu? Ada yang sakit?"

"Saya boleh ke luar sebentar? Katanya sinar matahari pagi bagus buat kesehatan. Boleh ya, Sus? Masa saya harus dikurung di tempat ini terus? Suntuk. Lama-lama di sini malah bikin saya stres."

Wanita yang diyakininya berusia akhir dua puluhan itu terlihat menimbang. Pasalnya, Aska adalah pasien penderita Leukemia, dunia luar bisa berbahaya untuknya. Apalagi sekarang imunitas tubuhnya sedang menurun. Ia sedang rentan-rentannya terkena infeksi.

"Suster, please, nggak lama kok, bentaran doang. Boleh ya?" Bagaimanapun caranya ia harus keluar. Aska bersumpah, jika terus terkurung di ruangan ini maka ia akan mati kebosanan.

Setelah lama menimbang, akhirnya Suster Gina mengizinkan dengan syarat Aska harus meminum antibiotiknya terlebih dahulu dan itu tidak masalah bagi Aska, yang penting ia bisa keluar. Mumpung Arini pulang, Raga sekolah dan Byan bekerja, ini kesempatan emas untuknya.

Pilihan Aska jatuh pada taman di halaman depan rumah sakit. Tidak ada tempat lain yang bisa ia kunjungi. Dinding yang didominasi warna putih itu terlalu memuakkan.

Aska duduk di kursi panjang tepat di bawah pohon rindang. Ia mengamati beberapa pasien yang tengah berjemur. Lelaki itu menikmati momen ini. Ia dapat mengisi paru-parunya yang sedikit sesak dengan udara segar setalah berminggu-minggu terkurung dalam kamar rawat inapnya.

Perhatian Aska lalu tertuju pada sosok kecil yang tengah berlari, seorang suster mengejarnya, meminta agar gadis kecil itu berhenti. Aska lantas berdiri, ia melangkah untuk menghadang lari gadis itu. Tepat sasaran, gadis kecil dengan beanie putih itu menubruk tubuhnya.

25 Wishes Before Die [TERBIT]Where stories live. Discover now