05. Sadar Kemudian Sabar

1 2 0
                                    

Gedung TBS tidak seramai beberapa jam yang lalu. Acara telah selesai, beberapa orang masih berlalu-lalang dengan urusannya. Begitu juga Maulana, dia baru saja menunaikan salat Ashar dan kembali menemui Anjani yang menemani Naura.

"Kenapa tidak dijual saja lukisan itu?" tanya Maulana heran mengingat harga yang ditawarkan seorang pengunjung untuk meminang lukisan karya gadis berhidung mancung di depannya.

"Iya, padahal lumayan!" timpal Anjani, yang menjadi pertanyaan mengapa keempat lukisan lain yang sahabatnya bawa dijual, tapi tidak yang satu itu?

Naura yang tengah mengambil lukisannya tertunduk dan membalikan badan, sebenarnya dia pun sejalan dengan pemikiran Maulana dan Anjani. Tetapi, kalau ditimbang dengan rasa ingin memajang lukisan itu di rumah, gadis yang anggun dengan jilbab persegi empat itu lebih condong mengutamakan neneknya.

Masih diingat jelas ucapan neneknya tadi pagi, orang yang sangat disayanginya itu mengungkapkan rasa sukanya kepada lukisan tempat mulia yang di damba-dambakan setiap orang muslim untuk mengunjunginya.

Naura menjelaskan kepada kedua orang yang kini berjalan dengannya keluar dari tempat pameran, bahwa lukisan itu satu-satunya yang disukai neneknya.
"Ini untuk nenek," lirih Naura.

Dari pembicaraan yang tidak seberapa banyak di awal perkenalan dengan Naura, Maulana bisa menilai gadis itu cukup dewasa dan tentu mempunyai perinsip hidup tanpa keegoisan.

Anjani dan Naura pergi meninggalkan pelataran kawasan Taman Budaya Jawa Tengah tersebut, sedangkan Maulana memilih untuk duduk di sebuah bangku.
Wajah penuh kegelisahan tergambar di wajah lelaki berkumis tipis tersebut, sedari tadi bermacam pertanyaan mengganggu ketenangan hatinya.
Kenapa Naura sangat mirip dengan seseorang yang dulu pernah dikenalnya? Apa mungkin mereka adalah saudara kembar? Entahlah! Maulana memegang kepala dengan kedua tangannya saat tubuhnya sedikit membungkuk dalam duduknya setelah sedikit menggeleng dan menghela napas panjang.

Matanya terpejam beberapa detik sebelum Maulana merasakan telapak tangan seseorang di pundak kirinya, seorang yang sangat dikenalnya telah berdiri di sampingnya bersama lima orang lain yang tak dikenal.
Maulana tidak mendapati wajah Farhan saat mengamati orang yang berada di belakang Tirto. Belum sempat sepatah kata pun diucapkannya, sebuah hantaman keras mendarat di pipinya.
Sontak Maulana bangun dari tempat duduk lalu berdiri berhadapan dengan Tirto dan kelima temannya. Kedua tangannya tidak mengepal, dia tidak ingin membalas atau melawan.
Tetapi, seorang dari kelima teman Tirto sepontan mendorong Maulana lalu menendang pertunya. Maulana hampir saja kehilangan keseimbangan dan tersungkur andai tidak cepat dikuatkan pijakan kakinya.
Belum hilang rasa sakit di perutnya, dia sudah merasakan lagi pukulan-pukulan keras di kepalanya.
"Buggg … buggg …," tanpa berhenti suara itu seolah berdengung di telinganya.

"Berhenti!" teriak seorang laki-laki berkacamata dengan frame tipis dengan warna yang tidak terlalu kontras dengan kulitnya yang agak kekuningan.

Tirto yang berdiri memperhatikan teman-temannya melayangkan kaki ke semua bagian tubuh Maulana yang terkapar, menoleh ke belakang dan melihat Narendra Pratama —seorang sarjana muda lulusan UNS, yang kini menjadi pengusaha Garment yang cukup akrab dengan ayah Tirto. Diapit dua orang berseragam Security berjalan ke arahnya.

Pemuda berambut kemerahan yang menjadi dalang pengroyokkan itu meminta semua temannya berhenti, dibungkukkannya pandangan menatap Maulana yang segera bangkit.

"Berapa kali lagi aku harus peringatkan?" kata Tirto, "jangan dekati Anjani!"

Tangan kanan Tirto keras mendorong dada Maulana, lantas menjauhinya. Langkahnya terhenti karena sebuah kalimat yang ditangkap pendengarannya, "tunggu!" kata lelaki berkacamata dengan baju yang rapi dimasukkan kedalam celananya.

My Little Dreams [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now