29

270 29 4
                                    

Mungkin aku memang manusia bodoh, sudah ditinggalkan tapi masih saja teringat dia. Sudah dicampakkan tapi masih menginginkannya. Telah dihancurkan tapi masih mengharapkannya.

Aku tak pernah mengerti bagaimana perasaan itu bekerja, bagaimana ia bisa membuat anak manusia menjadi seseorang yang paling bodoh di dunia hanya karena CINTA. Dan kini, aku masuk dalam jajaran orang paling bodoh itu.

Bagaimana aku bisa melupakan? Sedang kamu selalu datang menghantuiku saat aku memejamkan mata. Kenapa harus kamu? Kenapa aku harus jatuh pada orang seperti kamu? Dan bodohnya, aku malah membuka album yang berisi fotoku dengannya di layar komputer.

Kenapa kamu bisa membuat logikaku menjadi terbalik? Ku ingin melupakan tapi malah tetap menatap kenangan darimu? Ku ingin pergi tapi tetap menunggumu. Kenapa kamu menancapkan panah cinta yang begitu dalam jika kamu tak berniat untuk menjagaku selama hidupmu?

Rasanya, aku ingin berlari, menjauh dan membuang semua kenangan dan cerita darimu, tapi saat ku mulai mencoba melakukannya, aku malah berbalik mengambil kembali setiap kenangan itu.

Bodoh? Iya aku akui aku memang bodoh, aku tak akan menampik hal itu.

Jika kalian bertanya apa aku lelah? Jawabannya tentu aku sangat lelah. Bagaimana bisa aku bertahan dengan cinta yang telah meninggalkanku selama bertahun-tahun. Tapi logika dan hatiku tak bisa seirama. Otakku memerintahkan untuk membuang dan melupakannya, tapi hatiku berkata aku harus tetap menunggunya seperti janjiku dulu, padahal ia telah melupakan janjinya.

Dan lagi-lagi mataku memanas, siap untuk meluncurkan air yang tertahan saat melihat senyum dua orang manusia yang terpajang di layar komputer. Mereka sangat bahagia berbeda denganku yang menghabiskan hariku dengan kesedihan.

'Tok’ suara ketukan pintu mengalihkan atensiku, segera ku seka air mata yang mulai turun dari kelopakku. Aku berjalan gontai menghampiri kenop pintu yang seakan terasa sangat jauh.

Aku mengulas senyum palsu untuk menutupi kesedihan saat ku lihat siapa yang datang. Pria dengan senyum yang merekah saat melihatku, dan ia usak rambutku pelan membuatku menatapnya sendu seakan ingat kenangan ku dengan seseorang beberapa tahun lalu.

“Muka lu sedih gitu si? Gak suka gue kesini?” tanya pria itu. Ia langsung masuk ke dalam kamarku tanpa mempedulikan aku yang masih mematung di depan pintu.

“Des,” panggilnya lagi, membuatku menoleh ke arahnya dan hanya tersenyum hampa. Aku menghampirinya namun tatapannya mengarah pada layar komputerku. Ah betapa bodohnya aku, aku lupa mengeluarkan gambar itu.

Ia langsung melirikku, menghampiriku dan memegang kedua bahuku, lalu menatapku dalam. “Lu masih mikirin dia?” Tanyanya lembut.

Aku hanya menganggukan kepalaku lemah. “Gue bodoh banget ya Ga? Ngapain gue masih mikirin dia, masih nunggu dia? Padahal dia gak pernah mikirin gue.”

Dirga langsung memelukku, berusaha untuk menghibur hatiku yang telah rapuh digerogoti perasaan ini. Air mataku lolos begitu saja saat ia memelukku, padahal aku tau ia ingin aku menjadi pribadi yang lebih kuat.

“Lu masih sayang sama dia?” Tanya Dirga lemah. Ia merasa sangat bodoh menanyakan hal itu, padahal sudah jelas jawabannya akan semakin menyakitkan dirinya.

Desyca mendongak, “kenapa gue selalu tertuju sama dia Ga? Kenapa? Kenapa gue harus sayang sama dia?” Tanya Desyca dengan luapan emosi yang tak bisa lagi disembunyikannya.

Dirga mengulas sedikit senyum di wajahnya. “Karena kita gak akan pernah tau hati kita akan berlabuh pada siapa Des. Tapi, hidup lu harus tetap berjalan, lu gak bisa gini terus.”

“Lu gampang ngomong gitu Ga, karena lu gak tau apa yang gue rasain!” Sahut Desyca kesal.

Dirga menghela nafasnya berat. ‘Kamu tak mengerti Des, aku bahkan merasakan sakit jauh lebih lama darimu’ batin Dirga.

“Kenapa diem Ga? Lu gak bisa jawab kan?” Ketus Desyca dengan menatapnya tajam.

Dirga melepas pelukannya. Ia menatap Desyca lekat lalu tersenyum lembut. Ia bawa satu tangan Desyca menuju dadanya, membiarkan fisik yang berbicara tanpa campur tangan dari mulut.

Desyca membulatkan matanya, menatap Dirga sendu. “Dirgaaaaa,” lirihnya seakan tak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Lost (304th Study Room)Where stories live. Discover now