Chapter 3 "Akal Sehat"

3 1 0
                                    

-Side Story-

Tanpa kusadari semuanya sudah berubah, suara langkah kaki teratur, suara dentuman jam pasir itu semua sudah berubah menjadi suara aneh,suara itu menghiasi seluruh pemandangan yang kulihat ini. Bayangan tadi yang membawaku kini telah menghilang bersama 'Penyelamatku'.

Aku melihat, aku melihat sebuah tempat penuh dengan warna, sesuatu makhluk hidup yang memiliki batang atau dahan, sesuatu yang memiliki lembaran-lembaran tumbuh dari batang itu. Apakah ini yang dinamakan pohon dan hutan?!

Itu terlihat seperti kumpulan pelangi, tiupan angin kecil pun ikut bergabung dan memeriahkan ini, suasana ini terasa tidak asing. Ditambah hadirnya hewan liar membuatku merasakan emosi hutan ini. Aku bisa merasakan mereka semua ingin merayakan sesuatu yang sepertinya besar.

Pemandangan ini tentunya berbeda dengan tempat asalku, yang dipenuhi teknologi dan sudah dipenuhi dengan sampah. Manusia kala itu tidak bisa menghentikan sampah-sampah yang begitu banyak adanya. Hutan-hutan, gunung-gunung bahkan sungai jernih sudah lenyap. Satu-satunya cara manusia untuk bertahan hanyalah perang, perang, dan perang.

Banyaknya pencemaran-pencemaran yang terjadi, cuma tersisa 1 kota yang bertahan dari ribuan kota sebelumnya. Kota itu adalah tempat-tempat para elite dunia menetap, makan makanan enak, dan membuang sampahnya ke tempat kami.

Yang lebih buruknya, Kota kami kekurangan makanan sehingga membuat semua penduduknya kehilangan akal sehat dan saling bunuh membunuh. Teriakan orang sedang membunuh dan teriakan orang terbunuh sudah sangat biasa disana. Karena ketebatasan makanan dan air bersih, manusia disana telah berubah jadi hewan liar yang memangsa kaumnya sendiri. Bagi yang tidak berani membunuh maka satu-satunya cara bertahan hanya mengorek-korek sampah, berharap ada sisa makanan dari kota itu.

Ketakutan, suara seram, darah di setiap sudut kota, terkadang organ tubuh dalam berceceran membuatku ingin merasakan dunia setelah kematian. Walaupun banyak orang mengatakan ada tempat yang lebih buruk lagi setelah kematian, aku tidak peduli sama sekali, aku hanya ingin merasakan dunia tanpa ketakutan seperti halnya orang-orang penting itu. Mereka bisa tidur nyenyak, makan, minum, merasakan kedamaian.

Di neraka itu aku mempunyai seorang sahabat, dia adalah laki-laki kuat yang selalu melindungiku. Di saat saat ketakutan itu terjadi, dia selalu memelukku bagaikan boneka kecil. Pelukan itu selalu menghangatkan hatiku melupakan apa yang terjadi. Namun, akal sehat bisa diubah sesuai kondisi tertentu entah itu rasa lapar atau haus.

Disaat aku melihat seorang terbunuh didepanku, dia selalu berkata padaku "Orang yang tidak tahan melihat daging lalu ingin menyantapnya itu sudah mati, mereka bukan manusia lagi. Kamu harus kuat menahan itu, mati tentu saja lebih baik daripada memakan keluargamu sendiri." Kata-kata itu selalu membuang rasa laparku dan hausku.

Tapi kata-kata itu tidak berhasil pada orangtuaku. Mereka sudah 13 hari tidak makan, tubuh mereka sangat kurus dan terlihat sangat menyeramkan. Baju yang dikenakan sudah sangat longgar tidak sesuai dengan tubuhnya itu. Padahal sebelum kejadian itu, mereka selalu menyayangiku dan memberiku makanan jika memang adanya. Aku tidak sadar mereka tidak makan sama sekali, orang tuaku memberikannya padaku dan sahabatku, demi masa depanku yang lemah tidak berguna ini.

Di saat-saat terakhirnya, kedua orang tuaku melihat tubuhku masih memiliki sisa-sisa daging di tangan dan kakiku. Mata mereka berubah penuh dan air liur menetes banyak. Melihat mata itu, aku sudah sadar mereka tidak mengenalku lagi, pola pikir menyayangi sudah tidak ada lagi, yang penting untuknya hanya menghabisi sisa-sisa makanan yang ada.

Aku hanya bisa terbaring di pojok rumahku. Ibuku menarik kakiku dan merobek-robek celanaku hingga kusut dan koyak, ayahku menarik rambut hitamku keluar dari pojokan itu. Walaupun aku sudah berteriak sekeras yang kubisa, tidak ada yang menolong anak perempuan sepertiku ini. Kaki yang sudah lecet dan berdarah-darah tidak lagi bisa kugunakan untuk berlari. Bersamaan rasa sakit itu, dengan refleks aku merangkak sekuat tenaga ke pintu depan dan mendapati sahabatku berada di pintu memegangi sebuah tombak dari pembuangan sampah. Ibuku yang tetap menarik kakiku mencengkram seluruh giginya dan menekan pergelangan kakiku hingga patah.

Rasa sakit luar biasa beserta isak tangisku sama sekali tidak juga membuat kedua orangtuaku sadar. Waktu-waktu terakhir itu aku hanya bisa menunduk dan menunggu sahabatku datang, tapi itu semua tetaplah sebuah kebohongan. Tombak yang tadinya dibawa olehnya, sekarang tertancap di perutnya.

Perasaan baik dan harapan seketika meninggalkan hatiku,membuatku merasakan keputusasaan hebat. Pemandangan itu membuatku sesak nafas dan semua rasa sakit berubah menjadi keputusasaan. Apa ini akhirnya? Aku melihat orangtuaku berubah, sahabatku mati oleh ayahku didepan mataku sendiri, ayahku menggoyangkan tombak layaknya mainan, wajah ibuku yang tidak lagi kukenal.

Wajah sahabatku yang penuh air mata tidak bisa berhenti kejang-kejang dan menolehkan wajahnya padaku. "Ma-maa...f..kaan aku!"

"Ti-dak!!" "Tidak!! " Tidakk!!" Kalimat itu terus keluar di tengah-tengah isak tangisku.

Tubuhnya semakin gemetar tidak terkendali, keringat yang terus keluar bersamaan pendarahan yang hebat itu, Sahabatku pun berusaha keras menutupkan matanya dan tidak sadar lagi.

Aku pun sadar nasibku akan sama sepertinya. Aku menutup keras mataku, merasakan rasa sakit hebat saat ibuku menggigit kakiku. Namun saat itupun situasi tiba-tiba hening tanpa suara. Aku coba kembali membuka mataku dan melihat suatu cahaya datang dari arah pintu. Layaknya sebuah bintang terang menutupi semua keputusasaanku.

Satu sumber cahaya semakin datang mendekat. Ayah dan Ibuku pun menoleh ke cahaya itu, wajah mereka tidak berubah, wajah penuh nafsu akan makanan tetap melekat. Dan kemudian tiba-tiba saja ada seorang wanita menggendongku menuju cahaya itu dan tersenyum padaku, Senyum itu tidak pernah kulihat sebelumnya.

"Aku akan membawamu ke suatu tempat jauh dari tempat ini." jawabnya yang membangkitkan kembali harapanku.

"Apa ini akhirnya aku sudah mati?"

"Tidak,tidak kamu masih hidup."

"Tapi, bagaimana dengan keluargaku! Apa kau akan mengembalikan orang tuaku seperti dulu lagi?! Tolong selamatkan sahabatku juga."

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa, di masa waktu ini aku tidak memiliki cukup kekuatan. Maafkan aku."

Dalam sekejap itulah aku berada di dunia fantasi ini. Dunia penuh pohon yang sepertinya tidak akan mungkin ada di duniaku. keindahan alam seakan-akan hanyalah sebuah legenda bodoh dan tidak ada lagi yang percaya hal itu.

Meskipun begitu, aku telah menemukan legenda itu. Aku bisa melihat keindahan alam, akhirnya aku bisa menghirup udara bersih. Tidak ada lagi sampah-sampah manusia dan kota penuh monster. Seandainya wanita itu bisa menjemput lebih cepat, mungkin saja aku bisa melihat ini bersama orang tua dan sahabatku.

Tapi, aku percaya sahabatku juga menemukan pemandangan ini didunia yang lain. Tentu saja aku tetap berharap ayah dan ibuku bisa merasakan keindahan ini terlepas dari penderitaan dan terror.

******

Eternal:ReminiscenceWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu