1.2. First Impression

1.2K 176 68
                                    

WAKTU hukuman telah berakhir. Kini Cheonsa berada di kelas bersama dengan para sahabatnya yang menggerombol di belakang kelas.

"Untung saja Pak Choi tidak mengosongkan absenmu. Aku iri padamu." Kim Yerim, teman baik yang terkadang bobrok dan sedikit gila.

"Aku gila karena laki-laki asing yang berada satu bus denganku. Dia memakai seragam lelaki Kyuhak Highschool."

"Siapa? Apakah dia tampan? Tinggi?"

"Hey, hey, hey! Mulai lagi!" bentak Cheonsa pada  sahabatnnya yang bernama Joohyun. "P-pokoknya, dia sudah gila!"

"Aku penasaran dengan laki-laki itu. Apakah dia satu angkatan dengan kita? Atau...." Tak lama kemudian, sekonyong-konyong figur otoritas yang tambun dan tinggi berkacamata memasuki ruang kelas, membuat seluruh siswa di dalamnya terkontrol dan hening.

"Berdiri!" seru seorang lelaki. Semuanya ikut berdiri. "Beri salam!"

"Selamat pagi, Pak Choi!" Kemudian seluruh siswa duduk kembali dengan tenang.

"Hari ini kelas kita kedatangan murid baru." Pak Choi mengambil penggaris panjangnya dan meletakkan di atas meja guru di depan kelas. "Laki-laki. Terberkatilah mata kalian para gadis." Cheonsa dapat melihat betapa antusiasnya Yerim dan Joohyun yang duduk di belakangnya, menahan tawa bahagia.

"Diam dulu, Nona-nona." Pak Choi menunjuk Yerim dan Joohyun dengan wajah garangnya. Seketika, dua sejoli itu menjadi tenang. "Yoon Taekyung, silakan masuk."

Di balik pintu yang terbuka, masuklah seorang lelaki bertubuh tinggi proporsional yang mampu membuat tak hanya Joohyun dan Yerim menjerit dalam diam, tetapi seluruh kaum hawa di kelas itu. Suara kepala Cheonsa mulai muncul tatkala perangai angkuh lelaki itu ia kenali. Seolah diajak berkomunikasi dengan bagian lain dari dirinya sendiri, dengan bebas ia mengutarakan beberapa keraguan yang sekonyong-konyong ia dapatkan dari hasil menatap lelaki itu lebih jelas dan tenang.

Lelaki itu kini berdiri di samping Pak Choi. "Perkenalkan dirimu, Nak."

Lelaki itu membungkuk seraya tersenyum walau sedikit. Akan tetapi, itu cukup untuk membuat para kaum hawa menjerit dalam hati. "Saya Yoon Taekyung." Cheonsa menyangga kepalanya dengan satu tangan, memandang ke depan dengan tatapan yang terlihat me-remehkan dan malas, seolah olah lelaki tersebut tidak penting untuk diberi perhatian.

Pelajaran hari ini tidak ada yang spesial. Hanya matematika, bahasa Korea, bahasa Inggris, dan juga seni lukis. Hari ini Cheonsa mengikutinya dengan tanpa masalah, karena gadis itu adalah terpandai dari yang pandai di sekolah. Saatnya tiba untuk semua siswa pulang. Namun, beberapa pekerjaan yang merupakan tanggung jawab bersama, masih harus dilakukan. Piket hari ini: Cheonsa, Joohyun, dan—si wakil ketua kelas—Jungwon. Sementara Taekyung, melempar pandangnya ke jendela di samping kursi di mana ia duduk.

"Oi. Halo?" Taekyung melirik memandang seorang gadis berwajah sempurna, idola sekolah. "Namaku Shin Joohyun. Senang berkenalan dengan-mu." Joohyun. Gadis itu dari gerak-geriknya tampak jatuh hati pada Taekyung dari pertama jumpa. Taekyung tidak berkata-kata dan kembali menoleh ke arah jendela.

"Ehem." Joohyun berdeham sembari berkacak pinggang. "Kau sudah punya ekstrakurikuler?" Taekyung kembali menatap padanya, ia kemudian bangkit berdiri dan keluar dari kelas.

"Lihat dirinya. Apakah dia tak memiliki sopan santun? Seperti anak tidak berpendidikan!" Cheonsa melirik, mengamati bagaimana upaya Joohyun untuk dekat dengan lelaki itu. Gadis itu menaruh sapunya dan pergi mengejar Taekyung yang dengan cepatnya melangkah.

"Taekyung!" Cheonsa mengejarnya hingga ia berhenti di tengah tangga. Taekyung di bawah, dan Cheonsa di atas.

"Um ... begini. Sebagai ketua kelas, aku ingin mengucapkan selamat datang di kelas kami. Sekarang, uh ... apakah kau tertarik pada sesuatu?"

"Tidak." Setelah berucap demikian, Taekyung berbalik. "Eh! Aku belum selesai bicara, ya. Kenapa kau sangat tidak sopan?" ujar Cheonsa.

Dengan malas dan mungkin berat hati, Taekyung berbalik lagi. Tubuhnya sejajar dengan Cheonsa. "Pilih satu ekstrakurikuler yang kusebutkan." Gadis itu membuka kertas yang diyakini Taekyung, sebuah daftar ekstrakurikulernya. "Ehem. Basket, sepak bola, merajut, radio sekolah, menulis kreatif, klub bahasa inggris—"

"Kau masuk yang mana?" tanya Taekyung.

"Aku? Menulis kreatif. Kenapa?" Taekyung menghela napas sebelum memberikan jawaban akhir. "Ya sudah. Itu saja. Samakan saja denganmu. Aku harus pergi jika begitu. Sampai besok, Bu Ketua." Taekyung mengangkat telapak tangannya menggesturkan salam perpisahan dengan itu.

"Loh, loh—hey!" Cheonsa hanya bisa mengumpat dalam hati kala Taekyung meninggalkannya, speechless!

"Cheonsa. Apakah kau akan menjadi wakil Pak Yang dalam membawakan materi?" celetuk Jungwon dari dalam kelas, tanpa menyadari raut wajah Cheonsa sekarang.

Hari ini bukanlah hari yang menyenangkan, di mana seharusnya seusai sekolah kau dapat beristirahat dengan baik. Namun, tidak berlaku bagi Cheonsa. Ia membolos ekstrakurikuler hari ini karena Cheonsa masih harus membantu Bibinya berjualan tteokbboki di pasar dekat
indekos, sementara sang Paman sedang ikut panggilan bekerja oleh bosnya di Jepang. Bukannya tidak menghasilkan, tetapi hanya dengan tteokbbokki, itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah Cheonsa dan juga kehidupan keluarga sang Paman. Sehingga, sepulangnya ia dari pasar, ia harus bekerja paruh waktu lagi di sebuah mini market.

"Tteokbboki satu."

"Sebentar, ya." Dengan cekatan, Cheonsa menyendok satu centong besar penuh tteokbboki ke dalam mangkuk kertas putih. "Seribu won." Pembeli tersebut memberikan dua lembar lima ratus won pada gadis itu. "Terima kasih!"

***

Sudut ruangan yang gelap seolah menelan Taekyung bersamanya. Lelaki itu tengah duduk sendiri, bergeming menatap subjek yang ada di depannya. Ia harus tetap diam untuk mengerti apa yang dikatakan lelaki paruh baya yang merupakan ayahnya.

"Bagaimana sekolahmu, Taekyung?" Pria itu mengeluarkan rokoknya, mulai menghidupkannya dengan pemantik kemudian dihisapnya kuat-kuat. Asapnya sengaja ditiupkan ke arah si anak, membuat netra Taekyung sedikit terasa perih. "Kau tidak mencari-cari ibumu lagi, kan?"

Taekyung mengernyih. "Kalau iya? Kalau tidak? Apa yang akan kau lakukan?" Taekyung memejamkan matanya sejenak akibat asap rokok yang seolah menghunjam bola matanya. Sang ayah bungkam sesaat atas pertanyaan Taekyung.

"Ayah, untuk kesekian kali kukatakan, aku ingin mengejar karierku menjadi seorang penulis."

"Ckk. Kau ingin mengikuti jejak ibumu? Penulis yang kacau dan tukang selingkuh?"

"Aku tidak kacau, Ayah. A-aku akan belajar dengan giat!"

Taekyung memasang wajah seolah sedang dilanda masalah, menjadi seperti orang memelas.

"Ayah—"

"Tidak. Kau harus menjadi seperti Ayah. Dokter umum cocok untukmu."

"Tapi Ayah—"

"Tidak ada tapi. Kau akan menjadi dokter. Titik, itu keputusan final." Ayahnya tidak pernah tahu bagaimana bodohnya Taekyung dalam kimia dan juga biologi. Ayahnya juga tidak pernah tahu, bahwa alasannya menjadi penulis bukan karena sang Ibu yang meninggalkan mereka berdua. Ada sebuah rahasia yang disimpan Taekyung ... dan ia akan memberi-tahukannya pada cinta dalam hidupnya kelak. Kira-kira, apa itu?

Ayahnya bangkit, dengan rokok yang masih terapit di bibir tebal itu. Meninggalkan Taekyung di ruang tamu yang setengah gelap karena cahaya lampu meja yang menerangi hanya setengah dari ruangan tersebut. Perlahan air mata mulai mengalir turun, mencium setiap lekuk dan setiap komponen wajah lelaki itu. Kepalanya terasa pening kala air matanya semakin banyak yang berjatuhan. Di dalam, ia merasa hancur. Sudah tidak ada kasih sayang, ditambah tekanan yang terus didapatkan. Siapa yang menjalani masa depan? Ayahnya atau Taekyung? Akhirnya Taekyung pun bangkit dan keluar dari rumah dengan berlari sekencang mungkin ke mana pun kakinya membawa tubuhnya. <>

Kind Of ✔️ [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now