Bab 8

2.1K 239 4
                                    

Kallem tidak menyimpan nomorku.

Aku menyimpan nomor Kallem jauh sebelum Nanda memasukkanku ke dalam satu grup percakapan kelompok dua biologi beberapa waktu yang lalu. Foto profil Kallem adalah Sonic, sangat mudah ditebak ciri khasnya. Selama ini aku sering diam-diam mengamati kontak Whatsapp Kallem. Mengamatinya saat dia online dan menebak-nebak, dengan siapa dia saling berkirim pesan. Meski begitu, tak pernah sekali pun aku melihatnya membuat story. Mungkin dia memang tidak suka membuat story sepertiku, atau dia hanya menyetel pengaturan untuk menunjukkan storynya kepada kontak yang dia simpan.

Tidak apa-apa karena selama ini Kallem pasti tak memiliki nomorku. Lagi pula buat apa? Namun, setelah aku tergabung dalam grup kelompok dua biologi, suatu hari Sandra membagikan screenshot story Kallem di grup.

Story itu berupa foto Arko, adik Kallem yang sedang menangis dengan ekspresi lucu. Sandra bilang dia kangen Arko karena sudah lama tidak bertemu, dan Kallem hanya membalasnya dengan emoji tertawa. Beberapa anggota grup juga memberi tanggapan. Aku membalasnya dengan emoji tertawa juga.

Kuharap, setelah kami tergabung dalam grup, Kallem tahu nomorku dan menyimpannya. Sayangnya, tidak. Sampai saat ini aku tak pernah melihat story cowok itu. Kallem menyimpan nomor Sandra, dan mengabaikan nomorku.

***

Aku memakai masker di kelas untuk menyembunyikan bibir jontorku. Martha tidak sekali pun datang untuk meminta maaf kepadaku atau bertanya bagaimana lukaku. Aku sih tak peduli, tapi Anya menanggapi hal itu dengan sangat emosional.

“Aku benar-benar pengin smash mukanya yang jelek tapi sok cantik itu,” umpatnya saat melihat Martha masuk ke bilik toilet dan membanting pintunya di hadapan kami. Lagaknya Martha masih menganggap ponselnya yang rusak adalah kesalahan Anya. Dan bibirku.

“Kapan kamu bakal smash dia?” tanyaku saat keluar dari toilet sekolah. Aku memang tak peduli dengan Martha yang marah kepadaku tanpa alasan, namun terkadang, menanggapi mulut Anya yang luar biasa sembarangan itu asik.

“Segera. Kalau dia sekali lagi minta ganti rugi dan bawa-bawa nama bapaknya yang polisi, aku benar-benar bakal smash dia pas pelajaran olahraga. Tepat di gigi spasi dia yang jelek itu.”

Aku tergelak sepanjang koridor menuju kelas. Aku tahu, Anya tak akan benar-benar smash dia.

Koridor terlihat masih ramai dengan anak-anak yang berseliweran di luar kelas. Sekarang jam istirahat pertama, kurang dari dua menit lagi bel masuk berbunyi. Aku dan Anya bergegas ke kelas tapi mendadak berhenti ketika melihat Kallem muncul dari ruang OSIS.

Cowok itu tampan seperti biasa, begitu terang di antara lalu lalang cewek-cewek yang bedaknya mulai luntur dan cowok-cowok yang wajahnya mulai berminyak. Kallem membawa selembar kertas di tangannya kemudian menempelkannya di dinding mading.

“Hoi,” sapa Anya ringan sambil mengangkat tangannya.

Kallem menoleh, “Hoi.” Dia balas mengangkat tangan. Cara menyapa mereka berdua terlihat sangat cowok.

Selama ini yang kutahu, Anya hampir tak pernah mengobrol dengan Kallem di kelas tapi sekarang mereka seperti seseorang yang sudah kenal lama. Mungkin karena mereka pernah disatukan dalam satu tim penyelamatan bibir jontor, sehingga mereka jadi akrab.

“Apa itu?” tanya Anya sambil memeriksa kertas yang ditempel Kallem di papan mading.

“Pengumuman penerimaan anggota OSIS periode baru,” jawab Kallem.
Aku dan Anya memeriksanya. Di kertas itu tertera jam dan tanggal penerimaan anggota baru OSIS. Tepatnya dua hari lagi.

Kallem : Diam-Diam BucinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang