comma

17K 973 10
                                    





//


Tebing itu terlihat baik-baik saja. Kokoh, curam, tajam dan berantakan. Garis lurus yang memanjang itu seolah konsisten dengan ketidakteraturannya itu. Sehingga semua sisi tmapak berbeda. Bahkan rasanya pun berbeda saat dipijak.

Ujung bagian depan dari sepatu boots itu menyentuh angin, tidak seperti bagian belakangnya yang masih berada di bagian tepian. Seolah menyapa pemandangan di bawah terlebih dahulu, daripada sosok yang mengenakannya.

Gadis berambut abu itu terlihat menarik napasnya panjang.

Cukup panjang sampai ia rasakan seluruh udara sejuk di tempat yang luas itu memenuhi paru-parunya. Cukup panjang sampai ia rasakan tubuhnya menjadi lebih ringan, seperti bulu yang tertiup angin. Tanpa beban dan juga tanpa tujuan.

Benar.

Dia mengulangi seluruh percakapannya dengan seseorang sebelumnya.

Karena yang dikatakannya adalah benar, sementara yang gadis itu lakukan hanya penyangkalan. Berharap telinganya tuli saat itu agar tak bisa mendengar apapun. Agar dia tetap berada dalam angan, dibutakan oleh keadaan dan ditulikan oleh bisikan lembut itu.

Deru napasnya hangat di telinganya. Membuat darahnya berdesir.

Dan semua itu nyata.

"Sudah selesai?"

Gadis itu tak menjawab, melainkan hanya diam, bahkan ketika lengan sosok di baliknya itu melingkar di perutnya.

"Ayo kita pulang, Lalisa."

Tapi Lisa tidak ingin pulang.

Karena ketika pintu tertutup, rasa sakitnya juga ikut menutup—dalam kepalsuan.






the edge of the cliff
.:.

why don't we kill this love?

✔️ the edge of the cliffWhere stories live. Discover now