12. Dramatic Irony

2.6K 474 160
                                    

Saat membuka kedua mata, yang pertama kali Byan lihat adalah botol infus tergantung tepat tak jauh dari atas kepalanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saat membuka kedua mata, yang pertama kali Byan lihat adalah botol infus tergantung tepat tak jauh dari atas kepalanya. Ia kemudian melirik dengan susah payah punggung tangannya yang ternyata betulan tersambung selang infus, persis dugaannya. Byan sedikit mengangkat kepalanya berusaha mendongak, namun enggan ia teruskan saat merasakan nyeri luar biasa menjalar di sekitar keningnya. Wajahnya meringis nyeri, ia mendesis hingga salah satu perawat di sana menyadari kesadarannya.

"Kau sudah sadar tuan?" tanya perawat tepat setelah membuka tirai yang sebelumnya menciptakan sekat baginya di ruangan berbentuk bangsal tersebut.

"Kau pingsan." Perawat itu kembali memberi tahu. Byan masih berupaya mengumpulkan fokusnya. Kembali mengingat situasi yang terjadi sebelumnya hingga membawanya berakhir di sini.

"Kepalaku...." Rintih Byan tak mampu menyembunyikan rasa sakitnya.

"Kau mendapat tiga jahitan karena keningmu mendapat luka sobek. Pengaruh biusnya pasti sudah mulai hilang sekarang."

Tentu saja karena bedah minor hanya perlu bius lokal. Byan masih ingin kembali bertanya pada perawat tersebut, banyak hal yang perlu ia tahu selama ia pingsan entah berapa jam. Namun sebelah tangannya yang terbebas dari selang infus terasa berat. Byan baru menyadari, bahwa ada seseorang tengah tertidur di kursi samping ranjangnya sembari memeluk tangannya begitu erat di sisi ranjang. Tangan Byan bahkan nyaris mati rasa saking lamanya kesemutan dijadikan pengganti bantal oleh Hee Sae.

"Dia yang membawaku kemari?" tanya Byan tak percaya. Mendengar bagaimana Byan memberi tekanan pada kata 'dia' begitu tak biasa membuat perawat tersebut sempat mengerutkan kening. Merasa aneh dengan intonasi yang Byan pakai.

"Benar. Nona ini yang membawamu,"balasnya senormal mungkin. Namun ia kembali mendapati ekspresi Byan yang tak terbaca. Lelaki bertulang hidung tinggi itu nampak sedang berpikir.

Byan kira, Hee Sae akan meninggalkannya begitu saja di sana mengingat perempuan itu hanya berdiri melihatnya kesakitan. Jelas Hee Sae bisa menelantarkannya, ia bisa mengambil kesempatan itu untuk membalas dendamnya. Namun perempuan itu nyatanya memilih untuk membawanya ke rumah sakit setelah bertingkah yang menurut Byan sangat aneh. Sekaligus mencurigakan.

"Dia―"

"Adikku," sahut Byan cepat saat perawat tersebut menggantung ujung kalimatnya ragu. Mengkonfirmasi hubungan di antara mereka.

"Iya, adikmu sangat ketakutan saat membawamu kemari." Bahkan Hee Sae terlihat lebih parah ketimbang Byan yang tidak sadarkan diri. Tubuhnya bergetar hebat, menggigil tak karuan hingga perawat jaga menduga ia terkena hipotermi. Maklum, ia datang dengan pakaian basah kuyup sembari tergopoh kesusahan membopong Byan dalam keadaan pingsan. Bukannya penurun demam, justru Hee Sae meminta obat penenang. Dokter sempat menolak untuk memberikan resep sampai Hee Sae menunjukkan riwayat medis yang sengaja ia simpan lewat dokumen digital di ponselnya. Ia memang sudah berjaga-jaga bila situasi ini terjadi.

𝐃𝐫𝐚𝐦𝐚𝐭𝐢𝐜 𝐈𝐫𝐨𝐧𝐲 ✔️ Where stories live. Discover now