Karma

33.2K 6.9K 356
                                    

Banyak banget kemarin yang komen nyari Dharma Ishan di google ya? Btw, gue juga ikut-ikutan cari, padahal tahu jelas itu karakter fiktif yang gue bikin sendiri😅😅

Ditunggu bintang-bintang dan komen kalian
#banyakmaunya

==

Hari kelima di Florence, pukul delapan waktu setempat, Raven sudah duduk di meja makan. Memakai setelan kerjanya lengkap. Mengoles selai ke roti gandum untuk sarapan. Begitu aku hadir di depannya, ia memandangku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Kamu nggak pakai pakaian kerja?" tanyanya yang melihatku hanya berbalut terusan sederhana sepanjang lutut dan legging hitam. Sementara sepatu kets yang kupakai menarik perhatian Raven lebih lama.

Here we go! Raven si Pembunuh Suasana telah kembali. Dia sukses membunuh suasana hatiku pagi ini.

"Kan semalam Bapak sendiri yang bilang kalau—"

"Kamu harus ganti baju," putusnya bahkan sebelum kalimatku selesai.

"Baik." Tak mau memperpanjang masalah, aku menurut saja.

Namun, semua tingkah menjengkelkan Raven tak berhenti sampai di pakaianku saja. Bagitu aku selesai mengganti pakaian, aku sudah menemukan Raven duduk di kursi belakang kemudi. Sibuk dengan laptopnya. Seakan-akan seluruh konsentrasi bekerja tercurah 110 persen.

"Pak Raven, bapak tahu 'kan kalau saya nggak punya SIM internasional?" ucapku begitu kaca jendela mobil diturunkan setelah kuketuk beberapa kali.

"Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini karena dua jam lagi, tim di Jakarta akan rapat masalah pasta yang akan kita seleksi. Kamu tahu kan maksud saya?"

"Baik." Jawaban yang sama, yang harus diucapkan untuk kedua kalinya. Bagaimanapun, nasib anak buah tetap di tangan atasan. Masa bodoh dengan SIM internasional, mari kita kerjakan semuanya segera, menghabiskan sisa waktu, dan kembali ke Indonesia untuk menyadarkan diri dari semua romansa mengenaskan ini!

Begitu mobil terparkir di Mercato, tak ada tanda-tanda Raven bergerak dari kursinya. Ia masih sibuk dengan ketikan di laptopnya. "Pak Raven, kita sudah sampai," beritaku setelah selesai melepaskan sabuk pengaman.

Ia mengangkat kepalanya beberapa saat, membuka tasnya, kemudian mengeluarkan dompet dari dalam sana. Mengulurkan kartu kreditnya padaku. "Kamu bisa belanja sendiri kan? Daging, wine, bunga? Ini harus segera saya selesaikan." Ia memeriksa jam tangannya yang seketika membuatku ikut melirik ke jam tanganku. Setengah sembilan kurang sedikit.

"Baik." Lagi-lagi, aku mengucapkan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Menerima kartu kredit yang dia ulurkan.

Begitu mengantre di toko daging yang sama dengan kemarin, ponselku bergetar sekali lagi. Tanda-tanda jam makan siang di tempat kerja mulai digunakan. Sayangnya bukan dari grup LBH tapi dari Lyra.

Lyra : Mal, lo kan pernah pacaran sma cowok tajir melintir ye kan?

Lyra : Selama lo pacaran, lo pernah kasih hadiah apa ke dia?

Me : emang mau kasih hadiah ke siapa? Bukannya lo jago cari hadiah-hadiah mewah

Lyra : ini sedikit berbeda

Aku diam lama, mencoba mengorelasikan segalanya. Lyra menghubungiku secara pribadi. Beberapa hari ini, entah kenapa aku merasa godaan-godaan dari Retha bukan hanya sesuatu yang biasa.

Me : Buat Bang Kenta ya?

Bukannya membalas, dia langsung menghubungiku.

"Enak aja buat Kenta! Nggak ada."

Trapped with The BossWhere stories live. Discover now