Perang Dingin

36.8K 6.8K 380
                                    

Perkiraan mengunjungi keluarga Vence tidak sesuai rencana. Begitu selesai makan siang, Raven buru-buru mohon pamit, keluar dari rumah di pinggiran kota kemudian memberi tahuku untuk pindah ke tempat ketiga yang seharusnya dilaksanakan besok.


Dan bukannya mengikuti jadwal yang seharusnya, dia dengan keras kepala menyuruhku untuk menghubungi Alfonzo. Si Kejam itu bahkan sudah mengambil alih kemudi untuk pergi ke supermarket terdekat untuk membeli oleh-oleh.

Untungnya, dengan bantuan Alfonzo semua bisa diatasi. Keluarga Mancini akhirnya mau memajukan jadwal pertemuan kami sekarang juga. Seharian ini, dia banyak diam. Berdecak berkali-kali begitu memasuki swalayan terdekat karena ia tak mendapatkan buket bunga seperti yang tadi pagi.

Tanpa banyak bicara, dia kembali ke dalam mobil begitu mendapatkan wine dan daging. Memutuskan semuanya sendiri, sementara aku kocar-kacir mengikuti langkahnya yang terkesan tergesa.

Raven berhenti sejenak di jalanan dekat tempat kami menginap untuk membeli sebuket bunga mawar putih. Perjalanan memakan waktu satu jam lamanya karena rumah keluarga Mancini berlawanan arah dengan rumah keluarga Vence.

"Pak Raven, kenapa kita harus terburu-buru menuju ke tempat keluarga Mancini? Maksud saya, kita sudah punya jadwalnya dan—"

"Seharusnya sebelum mengunjungi keluarga Vence, kamu cari tahu dulu apa bahan lain di pasta mereka! Mereka pake anggur putih, Malika Febriana. Menurut kamu itu bakal masuk akal kalau sampai masuk ke menu untuk ritel? Bahkan saya bisa merasakan rasa wine yang kuat di creamy pasta tadi."

Aku ingin menggerakkan tubuhku menghadap padanya, memelotot kemudian meneriaki dirinya bahwa aku belum pernah mengonsumsi segala jenis wine, kemudian menghujatnya karena waktu itu aku tidak menyaksikan proses memasak pasta tersebut seperti tadi ketika bersama dirinya.

Hanya saja, tubuhku membeku di tempatnya, wajahku menunduk memandangi jemari yang bertaut dan meluncurkan kalimat permintaan maaf.

Diam canggung ini membuat pikiranku berkelana kemana-mana. Mengandai-andaikan jika saja semalam aku tak berkata agar Raven berhenti, mungkin selama kebersamaan kami hari ini, semuanya akan baik-baik saja.

Iya, terus lo baper sendiri. Coba kalau lo jadi si Vika? Gimana perasaannya?

Kewarasan menamparku kembali. Jelas aku akan marah besar kalau tahu kekasihku berbaik hati pada perempuan lain. apalagi status si perempuan ada hati untuk lelakinya. Mau satu arah, mau dua arah pun, hasilnya tetap menyakitkan.

Keluarga Mancini menyambut kami begitu mobil terparkir di halaman rumah mereka. Nyonya Mancini sibuk di dapurnya, baru saja selesai mencuci bahan-bahan yang sepertinya di beli mendadak sebelum kami datang.

Bermaksud membantu nyonya rumah di dapurnya, sang kepala rumah tangga menarik aku dan Raven agar mengikuti mereka keluar menuju halaman belakang. Mengajak kami berkeliling untuk memperlihatkan perkebunan anggur yang sepertinya baru saja selesai di panen.

Raven dan Tuan Mancini sibuk berbincang dalam bahasa Italia yang tak kumengerti. Hampir lima belas menit kami berjalan di ladang anggur sementara sepatu hak tinggiku menusuk-nusuk tanahnya yang gembur beberapa kali, membuatku kesusahan. Sedangkan aku mulai bisa merasakan tumitku  perih.

Kami kembali ke rumah setengah jam kemudian begitu keluar dari gudang penyimpanan anggur. Makanan yang disiapkan Nyonya Mancini pun telah terhidang di meja. Dan sama seperti kejadian di rumah keluarga Vence, Raven bersikap baik dan sopan namun membatasi diri. Tak membiarkan dirinya larut seperti saat berbincang dengan keluarga Valentino.

Begitu waktu menunjukkan pukul tujuh waktu setempat, Bosku memutuskan untuk pulang. Kami berkendara dalam diam, sama seperti keberangkatan kami tadi. Hanya saja, aku kembali menyetir sementara Raven sudah duduk di kursi belakang bak bos besar menyebalkan.

==

"Saya harus mempercepat pertemuan dengan keluarga Vence karena alasan pemakaian anggur putih, sementara untuk keluarga Mancini, rasa masakannya standar. Jadwal harus dimajukan dan diatur ulang karena mau tidak mau kita harus ke Tirrenia untuk menemui Ibu dari Nyonya Valentino."

Seperti itulah penjelasan Raven semalam sebelum aku masuk ke dalam kamar. Jadi sebelum aku benar-benar beristirahat, dia kembali memberiku perintah untuk mengabari keluarga Valentino bahwa kami akan ikut Leo ke Tirrenia mengantar keju dengan tujuan utama bertemu dengan sang chef.

Sebelum Raven mencelaku seperti kemarin, aku memilih pakaian kerjaku dan kembali mengenakan sepatu hak tinggi yang sama seperti kemarin. Ini menyiksa tumitku tapi daripada aku harus mendengar celaannya setelah patah hati, jauh lebih baik melihat dia diam tanpa protes.

Begitu aku sudah melapor padanya pagi ini di ruang makan, Raven memandangku dari ujung kaki sampai pucuk kepala. Apa lagi? Ada yang salah?

"Kita mau ke Tirrenia. Perjalanan hampir dua jam. Ganti pakaian formal kamu dan sepatu kamu. Lagipula kita akan naik truk untuk mengantar keju."

Kewarasanku terbahak, menertawakan jantungku yang berdetak salah kaprah untuk orang yang menyebalkan macam Raven. Dia yang genit, dia yang memulai semuanya, sekarang dia yang play victim. Untung saja meja makan di depan Raven terbuat dari kayu tebal terbaik yang sangat besar. Kalau ukurannya sekecil meja makan di restoran panekuk, sudah aku balik semuanya sejak tadi.

"Baik, Pak." Tanpa bisa protes, aku menurut. Memakai celana jeans, sepatu kets dan hoodie. Aku sudah bertekad. Kalau sampai hoodie-ku dihujat juga oleh Raven, lubuk hatiku yang paling dalam telah bersumpah, akan melemparkan tas punggung yang berisi laptop ini padanya.

Sayangnya, ketika tekadku sudah bulat untuk memberontak, pria itu tak mengatakan apapun. Kami sarapan dalam diam. Aku menikmati sarapan pagiku yang berupa omelet dan sosis. Sedangkan Raven sibuk menikmati kopinya sembari fokus pada tab di tangannya.

Bahkan ketika dia diam, dia masih sangat tampan!

"NGGAK BENAR!" teriakku tanpa sadar, tak terima bisikan gilaku. Tanpa menunjukkan kekagetan, pria itu hanya memandangku tanpa ekspresi. "Ma ... maaf, Pak Raven."

Begitu menghabiskan sarapanku, salah satu pelayan rumah mencolek bahuku, "Bella," hanya panggilan itu yang aku paham artinya. Begitu dia bicara panjang lebar melontarkan beberapa kalimat otakku sudah kosong sepenuhnya. Wanita paruh baya itu mengulurkan satu salep.

Aku memandang Raven, meminta tolong. "Salep buat kaki kamu," ucapnya. Tahu maksud hatiku untuk menerjemahkan apa yang tengah dibicarakan sang pelayan.

"Segitu panjangnya? Artinya itu saja, Pak?"

Tatapan mata garangnya menancap langsung. "Kamu mau saya terjemahin kata demi kata?"

Tahan diri, Mal. Jangan emosi. Tahan. Inget saja bonus besar jika ritel ini sukses.

"Nggak, Pak Raven," sahutku. Menoleh pada si Pelayan, berterima kasih setelah menerima salep yang diberikannya.

Niat untuk mengoleskan salep tersebut hilang begitu terdengar deru mesin halus di halaman luar. Selang klakson berbunyi, mesin itu dimatikan. Leo sudah datang menjemput kami.

Ketika pintu terbuka, bukan truk besar yang aku temukan di halaman. Tapi truk pick up keluaran Volvo yang tampak gagah. Membayangkan Leo yang pemalu menaiki truk tersebut, perutku tergelitik. Belum sempat menyemburkan tawa karena ekspektasi, bocah berusia 19 tahun itu keluar dari truk. Tersenyum seceria bunga matahari.

Bocah lelaki itu tersenyum begitu lebar, menatap padaku tanpa kedip sebelum merengkuhku dalam pelukannya. "Really Miss you, Bella," bisiknya dalam bahasa Inggris yang kental dengan aksen Italia sementara aku membeku tak bergerak dalam pelukan Leo yang pagi ini hanya memakai celana ripped jeans dan kaus lengan pendek yang memperlihatkan otot bisepnya yang terbentuk sempurna. "Aku tidak akan malu-malu lagi padamu," lanjutnya lagi dalam bahasa inggris beraksen itu.

Bolehkah aku bilang, Italia, you rock!

==

Trapped with The BossWhere stories live. Discover now