11. Menahan Sesak

104 9 0
                                    



"Ayo dong, Ky! Lo lama banget, elah! Jalannya cepetan dikit, napa? Kayak putri Solo aja."

Kuping Rizky rasanya mau meledak saat mendengar Irena menyerocos tanpa henti.

"Lo juga sabaran dikit jadi orang. Lombanya aja masih ada 30 menit lagi, nggak usah lebay lo," cibir Rizky.

Irena mendelik kesal pada Rizky. "Gue nggak mau yah duduk di belakang, gue maunya duduk di depan, biar bisa liat Yura secara langsung."

Rizky mendecih. "Emangnya dia selebriti?!"

Napas panjang keluar dari mulut Irena. Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia pun menuju ke bangku beton yang berada tak jauh dari depan perpustakaan.

"Ky, sini." Irena menepuk-nepuk pelan bangku beton disebelahnya. Rizky segera duduk disebelah Irena.

Irena tersenyum tipis. "Lo masih belum bisa terima Yura pacaran sama Tommy?"

Sial!

Rasanya Rizky ingin mengumpat dengan kata-kata sangat kasar saat sekarang ini. Irena selalu bisa memahami ketidaksukaannya pada Yura.

"Mau sampai kapan, Ky?" Tubuh Rizky menegak. Suara Irena terdengar serius. Nada jenaka yang selalu ia dengar hilang tak bersisa.

Rizky menatap tajam mata Irena. "Lo tau alasan gue apa, Na! Dan gue nggak perlu susah-susah ngejelasinnya."

Napas Irena memburu. "Apa alasannya kalo lo cinta Tommy, alasan itu lagi yang akan lo pakai, Ky? Ky, sadar! Tommy itu sahabat lo, dan selamanya akan seperti itu. Apa kata Tommy kalo dia tau lo ada rasa nggak wajar ke dia?"

Rizky meraup wajahnya frustasi. "Terus gue harus gimana?! Lo mau bilang kalo gue harus sadar, dan kembali ke kodrat gue, mencintai perempuan yang Tuhan takdirkan buat gue?"

Bibir Irena mengatub rapat. Irena sudah sering melihat Rizky frustasi seperti ini. Irena mengesah lelah. Kapan takdir ini akan baik-baik saja?

Irena mencengkeram kuat pundak Rizky. "Seperti jawaban gue yang sudah-sudah, gue akan bantu lo," ujar Irena bersungguh-sungguh.

Rizky menatap Irena lekat. "Mau sampai kapan, Na? Apa lo nggak capek? Gue ini orang yang menyimpang, apa lo nggak takut? Dari kecil lo selalu berkorban dan bantuin gue, lo nggak pernah ngeluh, Na. Apa lo nggak mau mengusahakan apapun demi diri lo sendiri?"

Irena mengusap pelan kepala Rizky, kebiasaan yang tak pernah hilang darinya sejak ia menjalin persahabatan dengan Rizky saat masih kecil. "Ky, gue udah nggak ada siapa-siapa. Bapak sama ibu gue udah nggak ada. Keluarga dan kehidupan gue sekarang adalah lo, Tommy, dan orang tua kalian. Kalian prioritas gue, kebahagiaan gue ada sama kebahagiaan kalian."

Rizky tertegun mendengar ucapan Irena. Dari dulu, hingga sekarang, jawaban sahabatnya itu sama sekali tak pernah berubah. Dan yang lebih membuat Rizky tak bisa melupakan tiap jawaban yang Irena utarakan, bahwasannya gadis itu memprioritaskan kebahagiaannya, dan salah tujuan hidup Irena adalah--membantu Rizky untuk tetap dan selalu bahagia.

Ada masa dimana Rizky benar-benar memusatkan isi kepalanya memikirkan seorang Irena Alyska Atlantia. Apakah gadis itu sudah baik-baik saja mengingat ia tak memiliki kedua orang tua dan hidup sebatangkara, di rumah kedua orang tuanya yang sarat akan kenangan. Rizky juga berpikir, bagaimana Irena bisa begitu kuat menjalani segalanya.

Rasa bersalah kembali menelusup dan menghujam dada Rizky. Bukankah ia sangat egois saat ini? Irena selalu membantunya, bahkan Irena tahu semua yang Rizky sukai dan tidak. Sedangkan Rizky? Ia bahkan terlalu buta untuk mengetahui apa yang disembunyikan Irena jauh dalam lubuk hatinya.

Rizky & IrenaWhere stories live. Discover now