Si Pemalas

19.2K 1K 104
                                    

Ada saatnya waktu membawa kita kembali dalam sebuah kenangan.
Jika boleh bertanya pada Tuhan. Sebenarnya, apa yang sedang ia rencanakan?
Hingga membawa hati pada waktu yang kelam.

oOo

Peng mendengkus kesal, untuk yang kesekian kalinya ia disuguhkan pemandangan bak kapal pecah. Berantakan. Bungkus-bungkus makanan ringan berserak di lantai, belum lagi baju kotor yang tergeletak seenaknya saja.

Matanya menatap berang Singto yang tengah tertidur pulas di sofa panjang hanya menggunakan boxer bermotif naruto. Sebelah kakinya menjuntai ke lantai menimpa bungkus snack rumput laut yang entah sudah berapa hari tak dibuang.

Sesekali dengkuran lembutnya menyapa telinga Peng seakan memberitahu betapa bahagia hidupnya saat ini.

Embusan napas wanita yang masih terlihat nyentrik itu semakin kasar, dadanya naik turun menahan sebal yang siap meluap kapan saja. Tas merk hermes berkilaunya ia letakkan di meja setelah menggeser beberapa botol minuman alkohol pinggir jalan.

“Sudah berapa kali mama bilang; Sing, bersihkan apartemenmu. Sing, cuci bajumu ...!” omel Peng sembari berjalan mengambil tong sampah di sudut ruangan. “Kau sudah besar, apa harus mama carikan baby sister untukmu!”

Singto mengerjap beberapa kali. Suara Peng yang begitu nyaring lamat-lamat masuk dalam pendengaran memutus mimpi indahnya yang sedang asik mandi bersama tujuh bidadari. Di hadapannya, Peng sedang membersihkan kekacauan yang ia buat bersama Em dan Gun tadi malam.

Botol-botol alkohol terdengar berdenting karena Peng memasukkannya ke tong sampah secara kasar sambil terus mengomel.

Pria itu duduk, mengucek matanya sesaat. “Ma, sejak kapan kau datang?” tegur Singto tanpa merasa bersalah. Toh, ini sudah menjadi rutinitas paginya—mendengar Peng mengomel.

Peng memelotot, kedua tangannya berkacak pinggang. “Kali ini, wanita mana lagi yang kau ajak ke sini?” selidik Peng dengan nada galak.

Singto berdecak, “Sudah berapa kali kubilang aku bukan tipe seperti itu.”

“Mama rasa sebaiknya kau pulang ke rumah, Sing. Jadi tidak perlu repot memeriksamu setiap hari. Dan lihat, mama bahkan menemukan kekacauan yang sama,” desis Pang.

“Aku tidak suka tinggal dengan orang asing. Beginilah hidupku, dan aku nyaman menjalaninya,” tukas Singto acuh.

Beberapa tahun lalu, Peng melaksanakan pernikahan keduanya dengan duda anak satu, seorang pengusaha properti ternama. Namanya Bom, badannya sedikit gempal dengan janggut tipis menghias wajah membuatnya terlihat seperti beruang yang baru saja dicukur.

Singto tidak suka, Bom terlalu banyak mengatur. Yang inilah, yang itulah membuat kesal setiap hari. Jika dipikir-pikir, bahkan anak kandungnya sendiri lebih parah daripada dia saat ini.

Peng meletakan tong sampah yang ia bawa sedari tadi lalu duduk di samping anak semata wayangnya itu. Tatapannya yang tegas langsung berubah sendu menerpa manik hitam Singto yang tampak redup.

“Sekarang, dia ayahmu, Sing. Kau harus berbakti padanya,” ucap Peng sembari mengelus punggung tangan Singto.

“Selama mama bahagia, aku tidak masalah. Tapi, jangan paksa aku untuk ikut bersamamu, karena definisi bahagia kita saat ini jelas berbeda,” jawab Singto cepat.

Dia bangkit, mereggangkan ototnya sekilas lalu beranjak meninggalkan Peng yang mulai tertarik kembali membahas pria beruang itu.

“Eh, kau mau ke mana!” Seru Pang.

MANTAN [Singto x Krist] (TAMAT)Where stories live. Discover now