Pemuda Berseragam

8.7K 892 35
                                    

Hidupku seperti potongan lagu
Berirama, namun belum tentu bermakna
Sekadar celoteh hati
Penenang diri yang sedang terluka.

oOo


Pen mendengkus sebal, hari ini Krist menyuruhnya jemput di tempat yang arahnya berbanding terbalik dengan tempat tinggal sebelumnya. Dia tidak tahu, kalau pria itu sudah pindah rumah.

Angin semilir lembut, menggoyang.kan dedauanan hijau tua yang berjajar di sepanjang pagar gedung bertingkat ini. Sesekali terlihat kerutan dalam pada dahi pria itu mengira-ngira kenapa Krist harus pindah segala.

Dari gedung terlihat Krist sedikit berlari menghampiri. Napasnya terembus kasar ketika tiba.

Seriously, sejak kapan pindah ke sini? Kok aku tidak tahu, ya,” cibir Pen karena Krist tidak memberitahu sebelumnya.

“Jalankan motornya atau kita terlambat. Kau tidak lupa ‘kan hari ini ada evaluasi dari Miss Brooks?”

Pen terdengar mendengkus. Tetapi menurut, daripada terlambat lalu mendapat ‘hadiah’ dari wanita mengerikan itu.

***

“Jadi, kenapa kau pindah?”

Mereka sudah sampai halaman kampus. Pen bertanya setelah menyampirkan helm-nya di kaca spion. Mengekori Krist yang berjalan lebih dulu tanpa menjawab pertanyaannya.

Krist barusaja ingin menjawab tetapi urung. Matanya tak sengaja menatap Singto yang berjalan mesra bersama Pie. Sesekali dia terlihat tersenyum entah karena apa.

Diam-diam, ia menghela napas. Otaknya kembali mengingatkan tentang tadi malam.

“Seharusnya kau tidak memperlakukan aku seakan masih cinta. Berpaling tak semudah mencintai, asal kau tahu,” gumam Krist terdengar seperti berkumur, menatap dua orang itu yang akhirnya masuk gedung.

“Kau bilang apa?” tanya Pen mesejajarkan posisi. Gumaman Krist barusan benar-benar tak bisa dimengerti.

Krist tersentak. Ia bahkan tidak sadar barusaja menyuarakan isi kepalanya. Di sampingnya, Pen memandang penuh selidik. Mata berkelopak mono-nya terlihat menyipit mengintimidasi Krist yang gelisah.

“Kau tadi bilang apa? Aku tidak dengar.” Ulang Pen.

Manik hitam Krist bergerak sembarang sembari menunggu otaknya merangkai alasan yang masuk akal. Percayalah, menjelaskan kebenarannya pada Pen lebih sulit daripada menerangkan pelajaran bahasa pada anak umur empat tahun.

“Bagaimana kabar ibumu? Sudah lama aku tidak berkunjung.” Krist mengganti topik pembicaraan.

Seperti anak-anak yang diberi permen kapas kegemarannya, Pen langsung terpengaruh dan melupakan pertanyaannya.

Sesaat kemudian, pria itu terdengar mengembuskan napasnya sebelum menjawab, “Dia sibuk. Tapi selalu bertanya kapan kau berkunjung kembali. Aku sempat curiga, sebenarnya anaknya itu aku atau kau? Dia bahkan tidak pernah bertanya apa aku sudah makan siang atau belum,” decihnya.

Krist terkekeh, lengannya merangkul pundak Pen yang hampir sejajar. “Bagaimana kalau aku datang sore ini? Aku juga sudah lama tidak membantu ibumu berdagang di pasar.”

Pen memberontak, melepaskan diri dari rangkulan Krist. “Sebaiknya jangan. Terakhir kau datang dia benar-benar mengacuhkan aku yang berdiri di sampingnya.”

Langkah keduanya terhenti. Di hadapannya senior mereka sudah menghadang dengan cengiran aneh penuh maksud terselubung.

“Phi, minggir. Kami harus bergegas,” protes Pen.

MANTAN [Singto x Krist] (TAMAT)Место, где живут истории. Откройте их для себя