Break

6.7K 663 130
                                    

Aku hanya segelincir orang
Yang berusaha menjaga hati
Agar tetap baik-baik saja.

oOo

“Nih, kau harus banyak makan agar tulang pipimu tak terlalu menonjol.”

Sejak keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, Pen mengeluarkan peringatan siaga satu untuk memastikan pria itu tetap dalam kondisi prima.

Seperti kemarin ketika Krist hendak membeli es serut pinggir jalan, Pen dengan sigap langsung membatalkan pesanan Krist. Penjual berdecak kesal karena pesanan Krist sudah separuh siap tapi Pen dengan muka badaknya menghadapi omelan wanita penjual itu.

“Aku korban pemukulan, Pen. Bukannya demam,” keluh Krist.

Pen tetap menggeleng tegas, menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan hidung Krist mengacuhkan rengekan barusan.

“Tetap saja. Makan es bisa menunda kesembuhanmu. Bagaimana kalau selepas kau makan es malah demam? Tubuhmu belum sepenuhnya sehat, jadi kau harus mengatur pola makan,” ceramahnya.

“Cih, apa hubungannya,” decak Krist.

Dan hari ini. Pen memesan lebih dari lima menu bebeda di cafetaria lalu menyuruh Krist untuk menghabiskan semuanya. Dia bilang Krist kurusan, tidak, tapi terlalu kurus.

“Pen, hentikan. Aku tidak sanggup memakan semuanya,” keluh Krist.

“Oh. Jangan khawatir, aku akan membantumu menghabiskannya,” jawabnya tanpa dosa.

“Cih, bilang saja kau memesan semua ini untuk dirimu sendiri. Jangan modus, menjadikanku sebagai alibi,” decak Krist.

“Tidak, tidak. Aku memesannya memang untukmu,” sangkal Pen.

“Pen yang baik. Aku hanya tidak ingin membuatmu mengeluarkan uang banyak untuk semua ini,” desis Krist dengan kata yang sengaja ditekankan.

“Ah, bukan aku yang bayar tapi kau,” ucapnya sambil menyengir lebar.

Krist memutar bola mata sembarang arah, temannya ini benar-benar sesuatu sekali.

“Oh iya, apa kau punya masalah dengan pria yang menghajarmu itu?” tanya Pen mengganti topik sebelum Krist melemparnya dengan piring seafood karena mengerjainya.

Krist menggeleng. “Aku tidak tahu. Mereka tiba-tiba masuk lalu memukulku,” terang Krist.

“Pintu apartemen singto itu menggunakan sandi. Di sana juga tidak ada tanda-tanda pembobolan atau sejenisnya. Apa mungkin? Ada seseorang yang memang menginginkan semua ini terjadi?”

Krist termangu. Penjelasan Pen barusan ada benarnya juga. Tetapi, selama ini Krist hidup baik-baik saja. Tidak pernah membuat masalah pada orang hingga dendam seperti itu. Ia menggeleng, mencoba mengusir semua opini tak berguna itu.

Toh, bagaimanapun semuanya sudah berlalu. Sekarang, lupakan saja dan terus maju.

“Jangan berlagak seperti detektif. Kau bahkan masih belum tahu di mana ibumu menyimpan uangnya.”

“Aish, ibuku memang jagonya. Kau tidak perlu ragukan dia tentang itu. Jangankan aku, pencuri sekali pun tidak akan bisa menemukan uangnya,” decak Pen yang disambut kekehan renyah Krist.

“Eh, Pen. Kau belum beli minum?” tanya Krist yang baru sadar belum ada segelas pun minuman di atas meja.

Pria yang ditanya hanya menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Lupa,” lirihnya.

Krist berdecak. “Kalau gitu aku beli dulu. Kau mau minum apa?”

Green tea dengan ekstra gula.”

MANTAN [Singto x Krist] (TAMAT)Where stories live. Discover now