AOS : Bagian 17

5.9K 695 12
                                    

Special update (Happy eid mubarak)

***

Semua berakhir.

Ya, semuanya berakhir dengan Elka yang berteriak sebab tak mampu menancapkan pisau itu ke jantung si bajingan. Elka melemparkan pisau itu jauh-jauh dan hanya menangis sesegukan. Bersamaan dengan itu, Annisa meluruh dan Lea histeris. Mereka tahu bahwa perasaan Elka sekarang sedang kacau. Tidak bisa dibayangkan nasib para korban yang sudah terenggut harga diri dan nyawanya.
Mr. Rayne terengah, tubuhnya bergetar hebat karena hampir saja ajal menjemputnya tadi.

Elka memilih berdiri, seraya berkata. "Saya tidak ingin memgotori tangan saya hanya untuk membunuh seonggok sampah sepertimu!" Elka berbalik, menatap teman-temannya. Ia berjalan lunglai, bersamaan dengan Rimba yang mendekat dan Andra, Vano yang segera membekap Mr. Rayne.

"Lo kuat, Elka. Lo hebat. Kita berhasil!" kata Rimba menyemangati Elka.

Perlahan mata Elka kembali diselimuti kabut. Bayangan wajah Fara waktu itu, kembali menari di otaknya. Isakan kecil keluar dari mulutnya hingga Rimba menariknya ke dalam pelukan.

"Lo hebat! Lo hebat! Kita berhasil Elka, kita berhasil!" Rimba terus mensuggesti Elka. Dia tahu sekarang gadis itu sangat kacau, geram dan sedikit penyesalan saat kasus Fara pastinya selalu menghantui. Tangis Elka semakin kuat, seiring eratnya ia membalas pelukan Rimba.

"A-aku sudah lapor polisi. Tim dari bunda aku juga akan datang. Mereka dalam perjalanan."

Mereka mengangguk paham mendengar perkataan Annisa itu. Elka melerai pelukannya setelah dirasa lebih baik. Ia menatap satu persatu wajah teman-temannya yang memberi senyum semangat. Kedua ujung bibirnya ikut tertarik. Benar kata Rimba, mereka berhasil!

Tak berselang lama, polisi berhasil masuk. Mereka juga turut memggiring Kepala Sekolah, yang menjadi kaki tangan Mr. Rayne. Di dalam ruangan para polisi dibuat terheram sekaligus takjub, karena pada kenyataannya anak-anak SMA itulah yang ternyata bisa mengungkap kasus ini. Mereka tersenyum lebar dan hangat kepada anak-anak itu.

Wanita berhijab lengkap dengan seragam polwannya menghampiri Annisa. "Kamu sama teman-teman kamu, tidak apa-apa 'kan?"

"Nggak apa-apa, Bun."

Wanita itu mengedarkan pandangan hingga terhenti pada mayat yang masih duduk di dalam kaca. Ia menggeleng tak percaya, orang yang dihadapi anak-anak ini memang benar-benar gila. Rahma—bunda Annisa, menatap Elka dan Lea yang memang sedikit terluka.

"Sebaiknya kalian segera keluar. Tempat ini sudah dikepung. Mereka tidak akan lolos, bunda pastikan dia mendapat hukuman yang pantas."

Mereka mengangguk setuju, satu persatu akhirnya keluar. Para pasukan polisi menggeleda ruangan itu, mengeluarkan mayat di dalam kaca dan segera akan melakukan autopis agar mengetahui identitasnya. Mereka tak menyangka kalau mayat itu tidak membusuk, kaca tersebut merupakan pendingin, dan mereka yakin setiap hari mayat itu diberi suntik formalin. Benar-benar sulit dipercaya.

Elka dan teman-temannya turun hingga ke lantai satu. Banyak siswa yang berkerumun, juga guru yang turut berkumpul. Benar kata Rahma, banyak pasukan polisi yang telah berjaga, dan mungkin akan mengusut lebih lanjut agar tahu pihak-pihak mana saja yang terkait. Mereka sampai di ruangan yang menjadi markas mereka, saling pandang, kemudian tersenyum lebar. Masing-masing dari mereka kembali terbayang pada awal dari skenario ini.

Skenario mengubah mimpi buruk Andra.

Semua berawal di mana, ketegangan berlangsung pada markas utama—rumah pohon—hari itu.

Flashback on

Semua terdiam mendengar kemarahan Elka. Mereka bungkam. Kalau Lea dan Annisa diam karena tak tahu sekaligus menunggu respons para cowok, maka beda untuk para cowok yang memang bingung menjelaskan hal yang mereka sembunyikan.

About Our School [✔] Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu