#Chapter 39

18.6K 479 0
                                    

Happy Reading

Sedari tadi Milo memperhatikan Lea yang tengah duduk menyila di atas kasur dengan mata yang fokus menatap layar ponsel. Milo bingung mengapa istrinya lebih memilih bermain game online dibandingkan belajar, padahal besok akan ujian kenaikan kelas bagi kelas sepuluh dan sebelas.

Saat dia menyuruh Lea untuk belajar, namun gadis itu malah menolaknya. Mengatakan kalau kalau belajar tidak akan berguna sama sekali dan membuang-buang waktunya secara percuma, toh nilainya tidak akan ada yang berubah. Itu terbukti ketika Lea menceritakan kejadian tiga tahun yang lalu.

Milo naik ke atas kasur dan mendekat kearah istrinya. "Belajar biar pintar, Le. Kata orang, anak kita nanti mencerminkan ibunya. Kalau ibunya goblok, anaknya juga goblok," katanya.

"Aih, malah ngomongin anak," kata Lea.

"Ini kan faktanya," balas Milo. "Kalau lo belajar yang rajin, gue yakin anak kita bakal pintar kayak ibunya."

"Apaan sih, emangnya gue mau punya anak," kata Lea.

"Maulah apalagi bapaknya kayak gue," balas Milo dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.

"Idih, mendingan bapaknya Evan," kata Lea yang diberi hadiah pelototan dari suaminya.

"Bilang apa tadi?" Milo berkata dengan senyum yang dipaksakan.

"Daripada punya anak dari lo, mendingan juga dari Evan. Udah baik, cakep, putih, pin-"

Lea tidak melanjutkan perkataannya ketika suaminya tiba-tiba saja mengecup bibirnya hanya beberapa detik. Namun, efek yang diberikan membuat jantungnya berdebar dengan kencang, bahkan dia rasa pipinya sudah memerah bak kepiting rebus.

"Jangan ngomong gitu lagi," kata Milo.

Lea mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Cepet belajar," kata Milo lagi.

"Hah, iya-iya."

Lea merutuki kebodohannya karena sudah mengiyakan perkataan suaminya. Dia terlalu tersihir dengan pesona yang dipancarkan Milo. Padahal saat Milo mencium bibirnya, dia bisa memukul atau bahkan menampar pipinya karena sudah bertindak lancang.

Milo, suaminya itu bertanya mengenai jadwal ujian untuk besok dan bodohnya dia menjawab tidak tahu, karena itulah faktanya. Kemudian Milo menyuruhnya mengirim pesan pada Bulan atau Anastaha mempertanyakan jadwal besok.

"MTK jam pertama," kata Lea ketika mendapatkan balasan dari temannya.

"Ya udah ambil bukunya gih!" kata Milo yang diberi anggukan kepala.

Lea meletakkan bukunya di atas meja. Ketika dia akan duduk berhadapan dengan suaminya, namun Milo melarangnya dan memerintahkannya untuk duduk bersebelahan. Lagi-lagi dia menuruti perkataan Milo tanpa ragu.

Sebelum belajar, Milo mengambil bukunya dan melihat rumus-rumus yang tertulis. Meskipun dia suka membolos, tapi kalau urusan catat mencatat dia nomor satu. Lea gak pernah berhenti mencatat walaupun dia harus meminjam buku-buku teman sekelasnya.

Milo bertanya, "Mau ngapain?"

"Ikat rambut lah, gerah begini."

"Jangan. Lo jangan ikat rambutnya."

"Lah terserah gue lah, kan ini rambut gue atau rambut lo yang mau gue kuncir?"

"Apaan orang rambut gue pendek."

"Nih panjang." Lea menunjuk rambut depannya Milo.

"Udah-udah. Sekarang lo harus lihat rumus yang ini. Disini x menunjukkan blablabla ..."

Sepanjang Milo menjelaskan rumus-rumus yang tertulis di buku membuat Lea pusing, dia sama sekali tidak mengerti. Dan Lea akui kalau Milo memang pandai, hanya sekali melihat bukunya dia langsung paham.

"Paham gak?" kata Milo bertanya.

"Enggak," jawabnya sambil menampilkan gigi yang rapi, "coba sekali lagi."

Milo menghela nafasnya berat, lalu kembali menjelaskan pada Lea dengan sabar. Dia sama sekali tidak keberatan jika harus mengajarkan Lea, toh ilmu juga harus dibagi. Lagi pula dengan cara seperti ini dia semakin dekat dengan Lea.

Beberapa bulan yang lalu, Bu Nike pernah menyuruhnya untuk membimbing Lea. Namun, saat itu kondisinya benar-benar lebih parah. Setiap dia datang ke rumah Lea selalu saja di usir dengan alasan tak mau diajarkan. Dan sekarang, dia bebas melakukan apapun agar istrinya mau belajar, termasuk mengancamnya.

Milo menghentikan penjelasannya karena pintu apartemennya diketuk seseorang. Dia pun keluar dari kamar. Ketika melihat jam di dinding membuatnya mengerutkan kening, pasalnya sekarang sudah pukul delapan dan siapa yang ingin bertamu. Kalau temannya tidak mungkin karena dia selalu melarang mereka.

Saat pintu terbuka, ternyata tukang pengantar paket.

"Ini mas ada paket untuk kak Brylea Aenazzahra, benar kan ini kediamannya?"

"Iya benar kok. Makasih ya, om," kata Milo sambil mengambil kotak dari tangan si tukang pengantar paket itu.

Milo menutup pintunya kembali lalu melangkahkan kaki menuju kamar. Dia meletakkan kotak itu di atas meja. Dan bertanya pada Lea memesan barang apa, mengapa si tukang kurir rela sekali datang malam-malam.

"Sumpah, Mil, gue udah gak belanja online. Mendingan juga beli langsung," kata Lea.

Lea pun membuka kotak itu dengan gerakan melambat, dia takut jika di dalam kotak itu sesuatu yang berbahaya seperti bom. Bukan hanya dia saja yang akan mati, tapi suaminya juga akan mati.

Lea langsung menampilkan wajah jijiknya. Kotak itu berisi katak yang sudah mati. Ketika dia akan membuangnya, Milo malah menahan langkahnya dan mengambil secarik kertas yang ada di dalamnya.

SESUATU YANG UDAH DIREBUT, AKAN DIREBUT KEMBALI

"Klasik banget sih nih orang, kurang kerjaan. Kalau emang mau mengancam gue, harusnya jangan nulis gini. Mendingan juga ketemu langsung, iya kan Mil," kata Lea.

"Lo gak takut?"

"Enggak lah ngapain juga."

Arranged Marriage With My SeniorWhere stories live. Discover now