Masa Kecil yang Lugu (permulaan depresiku)

2.6K 74 12
                                    

Aku akan menceritakan segala hal yang memicuku menjadi seperti ini. Cerita ini hanya aku ceritakan disini, bahkan orang terdekatku sekalipun belum pernah ada yang tau cerita ini. Seandainya kalian orang terdekatku dan menyadari kisah ini milikku, aku mohon simpan cerita untuk untuk pelajaran hidupmu. Jangan sebarkan aibku.

Semua hal besar ini dimulai ketika aku berusia 3 tahun. Iya 3 tahun. Usia yang masih sangat muda dan polos sekali. Bagi kalian yang punya kenangan indah diusia itu, bersyukurlah dan berbahagialah.

Lalu ada apa gerangan di usiaku ketika berumur 3 tahun? Baiklah, bacalah dengan seksama karna ini akan menyakitkan hati kalian. Cerita ini adalah kenyataan yang sangat pahit yang kupendam seorang diri hingga saat ini.

Di usia 3 tahunku, aku adalah seorang anak kecil yang tinggal di kampung. Kampung yang aku maksud disini adalah kampung yang sesungguhnya. Di kampung tempatku tinggal, tidak terjamah oleh dunia luar. Orang-orang disini menggunakan bahasa tradisional, jarang sekali ada yang mengerti bahasa Indonesia. Di kampungku, hanya ada 1 sekolah dan itu hanya jenjang SD. Bahkan untuk kendaraan pun tidak ada, warga di kampungku mayoritas adalah petani. Lalu bagaimana jika ingin membawa hasil panennya keluar? Saat musim panen, akan ada sesekali kendaraan jenis truck yang akan menjemput hasil panen ini. Selain itu, beberapa warga ada yang memiliki kendaraan roda dua, kendaraan ini hanya dimiliki orang-orang yang sangat kaya raya di kampungku. Lalu bagaimana untuk pasokan makanannya? Bumbu dapur dan lainnya? Jika ingin menjangkau pasar tradisional harus melewati 2 jam perjalanan dengan bis yang hanya datang sekali seminggu di kampungku. Ini sudah cukup menjabarkan bagaimana kondisi kampung tempat tinggalku bukan?

Dulunya aku terlahir di kota besar, namun keadaan memaksaku untuk pindah ke kampung itu. Lebih tepatnya kampung ayahku. Ketika aku masih bayi berusia 2 bulan, ayahku mengalami cidera patah tulang yang cukup serius. Ia tidak bisa bekerja bahkan untuk menopang dirinya sendiri ia tidak mampu. Kala itu, orang tuaku memutuskan untuk pindah ke kampung halaman ayahku demi melanjutkan kehidupan sekaligus melakukan pengobatan.

Waktu berjalan, ayahku berangsur-angsur pulih. Ketika aku menginjak usia 3 tahun, ayahku pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Lalu aku tinggal di kampung hanya berdua dengan ibuku. Kami tinggal dirumah kecil, lebih tepatnya disebut gubuk. Kami tidak tinggal dirumah kakek-nenek karna ibuku tipikal wanita yang tidak ingin menjadi beban orang lain.

Ketika ayahku pergi merantau, ibuku juga mengisi hari-harinya dengan bertani dan beternak. Sering sekali aku ditinggal dirumah sendirian. Jika aku bosan dirumah, aku akan pergi bermain bersama teman-temanku atau aku pergi ke daerah kebun kopi dekat belakang rumah untuk mencari buah.

Hal yang merenggut masa kecilku dimulai disini. Waktu itu, hari masih terang. Aku pergi sendirian ke kebun kopi belakang rumah untuk mencari buah, hal ini adalah hal biasa yang kulakukan karna aku sering ditinggal dirumah sendirian. Di kebun itu aku berhenti pada satu pohon jambu biji, kemudian berusaha menjangkau buahnya yang matang. Tidak lama, muncullah seorang bocah laki-laki berusia terpaut lumayan jauh dariku. Kalau tidak salah ingat, waktu itu ia kelas 4 atau kelas 5 SD. Rudy namanya.

Lantas apa yang terjadi? Rudy menawarkanku hal yang menggiurkan bagi anak kecil diusia itu. Ia bilang "jika kamu ingin aku ambilkan buah itu, kamu harus mau jadi pacarku". Hal yang mengejutkan bukan bagi seorang anak kecil untuk mengerti hal seperti itu? Lalu jawabku "pacaran itu kayak gimana? Aku gak ngerti, karna aku masih kecil. Aku sering denger itu tapi aku gak paham". Lalu si bocah laki-laki ini bilang "gampang nanti aku kasih tau caranya, asal kamu mau". Dengan polosnya aku pun mengiyakan perkataan bocah itu.

Bocah itu lalu mengambilkan jambu untukku. Namun ia tidak langsung memberikannya padaku. Jika aku mau buah itu, aku harus berpacaran dengannya dan mengikuti permintaannya. Saat itu, aku yang polos ini terperdaya olehnya. Ia memintaku untuk membuka celanaku dan berbaring diantara pohon pisang. Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan, aku hanya menurutinya. Ia pun melanjutkan dengan membuka celananya juga.

Hal yang masih kuingat, ia berusaha memasukkan penisnya di vaginaku. Sisanya aku tidak ingat lagi. Entah karna memori ini begitu menyakitkan atau bagaimana. Yang aku ingat, waktu itu ada suara langkah kaki datang. Suara itu terdengar jelas karna banyak daun-daun kering terinjak. Lantas bocah laki-laki ini segera memakai celananya dan menyuruhku untuk diam, tidak boleh menceritakan kepada siapapun kejadian itu. Ia bahkan mengancamku akan mengadukan aku kepada ibuku bahwa telah mencuri di pohon miliknya. Padahal aku sama sekali tidak mencuri. Ia pun segera memberi buah jambu itu dan kemudian pergi.

Lalu aku, dengan kondisi celanaku yang belum terpasang hanya bingung dan takut. Tak lama muncul seorang wanita yang tak lain adalah ibuku. Ia ternyata sedang mencariku. Ketika menemukanku ibuku hanya bertanya mengapa celanaku tidak terpakai? Sontak aku menjawab jika aku baru saja buang air kecil. Bagi masyarakat kampung, buang air di sekitaran kebun adalah hal yang lumrah, karna tidak ada toilet umum. Ibuku percaya dan akhirnya mengajakku untuk pulang.

Apakah ibuku tidak menyadari apa yang telah terjadi? Tentunya tidak. Karna aku diusia itu adalah anak yang sangat mandiri. Bahkan untuk mandi dan ke buang air aku sudah bisa sendiri. Aku tidak pernah mengeluh sakit kepada ibu, karna aku tidak pernah mau menyusahkan ibu. Hal itu berhasil aku sembunyikan dari ibu hingga aku sedewasa ini.

Kemudian bagaimana dengan aku? Aku selalu ketakutan, aku tidak berani untuk bertemu bocah laki-laki itu. Padahal ia adalah tetangga dekat rumahku. Semenjak itu masa kecilku berubah dan selalu dihantui rasa takut. Aku takut bertemu dengannya dan aku takut dengan ancamannya.

Beberapa bulan kemudian, aku dan ibuku menyusul ayah untuk tinggal di sebuah kota. Ayah sudah mendapatkan pekerjaan baru, yaitu buruh proyek. Di tempat baru, aku mulai menjadi anak kecil yang normal tanpa harus bertemu bocah lelaki sialan itu. Aku mencari teman baru, belajar bahasa baru, dan masih banyak hal-hal baru yang kutemui.

Ya, perlahan-lahan aku bisa terlihat jadi anak biasa. Tapi satu hal, trauma itu tidak pernah hilang. Hal itu membekas dan selalu mengahantuiku. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku waktu itu, namun aku mengingatnya, benar-benar tidak pernah melupakannya.

Suatu saat, ketika usiaku mulai beranjak remaja. Aku mulai mengetahui arti dari pacaran dan sejenisnya. Aku mulai memahami apa itu sex dan sejenisnya. Semakin aku dewasa, semakin aku sadar bahwa ketika aku kecil, aku menjadi korban pelecehan seksual. Pahit. Sakit sekali rasanya mengetahui kenyataan itu. Hal itu membuatku memikirkan masa depanku, apa yang akan terjadi denganku? Apa ada yang akan menerima kondisiku? Aku tidak tahu. Sejak saat itu aku mulai merasa bahwa aku adalah sampah, aku tidak berguna dan aku pasti tidak diinginkan oleh siapa-siapa. Itu yang ada dipikiranku.

Diluar, aku terlihat seperti anak gadis normal. Anak gadis kebanggaan ayah dan ibu. Anak gadis kebanggan bapak dan ibu guru. Anak gadis kebanggaan teman-temanku. Tapi, mereka semua benar-benar tidak ada yang mengenalku. Aku mengcover diriku sedemikian rupa, sesempurna yang kubisa untuk menutupi siapa diriku. Disamping itu, ketika aku sendirian ketika tidak ada siapa-siapa disisiku aku selalu menangis sejadi-jadinya menyesali kebodohanku. Kebodohan anak kecil di usia 3 tahun yang sangat lugu. Tolol! Sungguh aku membenci diriku!

Sampai disini dulu. Ini adalah salah satu hal yang memicu depresiku. Lain waktu aku akan bercerita kembali. Cerita ini, sungguh-sungguh terjadi padaku dan aku sama sekali tidak mengarangnya. Semoga dengan mengetahui ceritaku, kalian jadi lebih aware dengan kasus-kasus seperti ini. Jangan men-judge korban, karna hal itu bukan menjadi keinginannya. Berilah dukungan untuknya.

DepresiWhere stories live. Discover now