Ekonomi & Lingkungan Toxic

454 15 4
                                    

Hai....
Sudah lama sekali aku tidak menulis disini. Tadinya aku pikir aku tidak perlu bercerita kembali disini. Bukan karna apa-apa. Hanya saja, aku kira kondisiku sudah membaik dan berangsur pulih.
Aku sudah tidak pernah cemas lagi, bahkan aku merasa orang-orang disekitarku sangat baik dan mendukungku. Aku bahagia sekali, aku merasakan hidup kembali. Ya tentunya itu hanya sementara sampai aku kembali kesini lagi.
Bagiku, menulis seperti ini adalah bentuk curahan hatiku. Ketika aku menulis disini, ada sedikit kelegaan. Disamping itu, tidak akan ada yang men-judge aku karena tidak ada yang mengenalku disini. Bisa dibilang, menulis adalah caraku untuk melarikan diri dari kejamnya hidup di dunia nyata.
Aku kembali kesini adalah untuk menceritakan kepedihanku. Mungkin bagi beberapa orang, masalahku bukanlah apa-apa dibanding yang mereka alami. Tapi bagiku, ini semua sangat menyiksa, rasanya sakit sekali.
Rasanya, aku ingin pergi saja meninggalkan semua bebanku ini. Tapi aku tidak ingin menambah masalah lagi. Aku tetap ingin berjuang untuk orang-orang yang kusayang. Aku ingin hidup untuk membahagiakan mereka.
Saat ini aku sedang menjadi mahasiswa semester akhir. Aku merantau jauh sekali dari tempat tinggalku. Awalnya aku hanya mahasiswa biasa yang senang menikmati dunia perkuliahan. Tadinya aku sangatlah bersinar. Lambat laun, aku meredup.
Bukan tanpa alasan. Aku begini karna mengalami banyak hal yang membuatku terpuruk. Mulai dari masalah ekonomi keluargaku hingga kehidupan di perkuliahanku.
Awalnya aku sangat merasa tertekan ketika orangtuaku berkata bahwa mereka sudah tidak sanggup untuk membiayaiku. Di rumah masih ada dua orang adikku yang harus di biayai juga sekolahnya. Saat itu aku baru memasuki semester tiga dibangku kuliah. Pilihannya ada dua, berhenti kuliah dan kembali ke kotaku untuk bekerja membantu orang tua atau tetap melanjutkan namun tidak ada jaminan pasti dari orangtua. Jujur saja berat sekali rasanya.
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap melanjutkan saja. Disela-sela sibuknya kuliah dan organisasi aku pun berusaha mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang tuaku tentunya tidak melepasku begitu saja, sesekali jika ada rejeki mereka akan mengirimkanku uang, ntah itu 200 ribu atau 300 ribu dan tentunya itu tidak setiap bulan.
Dengan uang pas-pasan itu aku mencari cara untuk memutar uang. Perkuliahanku tetap berjalan, namun organisasiku menjadi terbengkalai. Tidak banyak orang di organisasiku yang tau kondisiku saat itu, akupun tidak memilih untuk bercerita. Aku tidak suka dikasihani apalagi hanya pura-pura berempati.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin jarang aktif di organisasi. Yang mana organisasiku itu merupakan organisasi yang sangat ketat peraturannya dan sangat mengikat anggotanya. Sebenarnya organisasi itu baik, aku sangat banyak belajar di dalamnya, tapi peraturan dan perlakuan para anggota di dalamnyalah yang membuat aku tersakiti. Entah mengapa aku merasa semakin lama aku berada dilingkungan toxic di organisasi itu. Mereka tidak perduli bagaimanapun keadaanmu, yang mereka tau hanya menuntut untuk aktif di organisasi.
Aku yang jengah dengan semua mulut-mulut jahat semakin merasa terpuruk. Suatu ketika aku pernah tidak ke kampus selama sebulan, ya aku bolos, meskipun beberapa temanku ada yang baik berinisiatif untuk menandatangani absenku. Aku bahkan mengurung diriku di kamar dan tidak mau menyalakan lampu, pertanda aku tidak mau diganggu.
Akibat dari para anggota organisasi yang bermulut jahat itu, aku menjadi menutup diri dan merasa dikucilkan. Setiap hari rasanya aku menjadi bahan pembicaraan mereka. Hatiku rasanya sakit sekali.
Waktu berada dititik itu, aku menarik diri dari pergaulanku. Aku hanya percaya pada satu orang, ia adalah pacarku sekaligus sahabatku. Pacarku ini juga satu organisasi denganku. Bagiku hanya dia yang bisa aku andalkan. Dia mengerti kondisiku dan emosiku yang tidak stabil, tapi dia memilih untuk tetap bersamaku. Sejak saat itu, aku selalu bergantung padanya. Disaat aku tidak punya uang untuk makan pun selalu dia yang sukarela membantuku. Dia sama sekali tidak pernah mengeluh dan memilih untuk menjagaku.
Ketergantunganku dengan pacarku membuat mulut-mulut teman di organisasiku semakin liar. Mereka tidak segan untuk membicarakanku dengan pacarku di belakang, ah aku jengah sekali. Rasanya sakit sekali hidup begini. Yang namanya pembicaraan dari mulut tentunya cepat sekali tersebar, hal itupun sampai ketelingaku. Aku tetap memilih untuk menahan diri dan pada akhirnya kupendam sendiri.
Aku tidak keluar dari organisasi tersebut karna aku ingin membuktikan walaupun aku dikucilkan, aku bukanlah orang yang lemah. Buktinya beberapa kali mereka mengandalkanku, ya memang begitu, mereka tidak akan baik jika tidak sedang membutuhkanku. Jika mereka tidak butuh aku lagi, aku akan di campakkan kembali dan dikucilkan kembali.
Memasuki tahun terakhir di organisasi itu, aku tetap mengikutinya namun aku sudah tidak aktif lagi, aku hanya muncul di beberapa momen penting. Habisnya, aku terlalu sakit hati untuk membaur dengan para manusia toxic. Rasanya mereka membuat aku trauma untuk bertemu orang-orang. Akhirnya aku bertahan hingga selesai. Walaupun bagi mereka aku tidak berguna.
Setelah selesai dari organisasi itu, aku memilih untuk menjauhi manusia-manusia toxic didalamnya, memang tidak semua tapi sebagian besar.
Aku berusaha untuk mencari kebahagiaanku. Aku berusaha membuktikan kepada mereka bahwa aku jauh lebih berharga daripada sekedar omongan mereka. Persetan dengan label sombong atau angkuh, aku tidak mau perduli lagi kepada mereka yang hanya datang ketika membutuhkanku saja.
Benar saja, beberapa kali diantara mereka dengan tidak tahu malunya untuk meminta bantuanku. Aku tidak ingin terjebak lagi dan tidak ingin sakit lagi. Kali ini aku sudah benar-benar tidak perduli lagi.
Mungkin cerita diatas basi sekali dan tidak menarik sama sekali, tapi aku hanya ingin menulis disini dan mencurahkan isi hatiku. Itu bukanlah kejadian detail tapi hanya permukaan saja. Lain kali jika ada waktu aku akan bercerita kembali. Sekian

DepresiWhere stories live. Discover now