~16~

525 78 229
                                    

Mon maaf jika ada kesalahan penulisan dan typo yang bertebaran :') Jangan lupa berikan vote seyenk :)

Happy Reading :)


"Kalian?"

"Lu sama Jungkook," Jihoon dan gue terdiam selama beberapa saat sehingga suasana perpustakaan yang memang tenang ini menjadi lebih hening lagi.

"Lu berdua tahu sesuatu kan?" tanya gue lagi.

"Gak ada yang salah kan kalo gue curiga sama kalian." lanjut gue yang membuat Jihoon terlihat seperti kebingungan menilai jawaban apa yang akan di berikan pada gue.

"Kalian tahu sesuatu, tapi gak mau ngasih tahu gue,"

"Kalian semua selalu bohongin gue,"

"Gak ada yang bohongin lu, Nik." kini Jihoon membuka suara, tangannya yang tadi di pakai untuk menulis kini menggenggam erat tangan kanan gue.

Drrtt.. drrttt..

Ponsel gue yang tergeletak di atas meja kembali bergetar sebagai tanda jika ada pesan masuk yang membuat gue dengan segera membaca isi pesan tersebut.

Uknown : Ada 2 teman lu yang mengetahui siapa gue Jungkook dan juga Jihoon, tapi mereka masih menyembunyikan identitas gue sebenarnya, bukankah itu tandanya mereka melindungi gue? Mereka ada di pihak gue, lalu kenapa lu masih berada di dekat mereka?

Gue mengigit bibir gue dan menelan saliva gue dengan susah payah saat mengetahui kenyataan yang baru saja gue dapat.

"Gue nggak tahu kalo kalian semua jahat." lirih gue yang membuat Jihoon menatap gue bingung.

"Melindungi peneror?"

"Untuk apa?"

Gue segera bangkit dari duduk dan berlalu pergi keluar dari perpustakaan pribadi milik gue, dengan air mata yang menetes begitu saja, gue segera berlari ke arah kamar dengan isak tangis yang menyedihkan, gue tidak peduli siapa si peneror sebenarnya, tapi kenapa mereka semua yang gue percayai malah seperti ini?

Kenapa mereka dengan mudahnya menyembunyikan semua ini dari gue? Gue bahkan harus memutar otak gue untuk mencari tahu siapa dia sebenarnya.

"Tolong dengerin gue dulu, Min Niki." Jihoon berlari mengikuti gue dari belakang, dari hentakan kakinya saja sudah sangat jelas jika dia sudah berada tepat di ambang pintu kamar gue, namun gue segera mengunci pintu kamar gue dengan cepat, tubuh gue yang tersandar di pintu kini merosot hingga terduduk lemas di atas lantai, berdiam diri di kamar seperti sekarang ini adalah hal yang tepat untuk menghindari berbagai alasan di antara keduanya.

"Pergi!" teriak gue dengan nada yang terisak.

"Gue nggak bisa kasih tahu sekarang masalah ini, gue mohon keluar dulu dengerin apa kata gue." Jihoon kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar gue pelan, namun suara dia yang biasanya terdengar tegas bahkan kini tidak bertenaga.

"Gue mohon dengerin gue dulu, ini gak seperti apa yang lu pikirin," lirih Jihoon dari balik pintu yang masih dapat gue dengar dengan jelas.

"Pergi! Gue bilang pergi! Gue benci kalian! Gue benci hidup gue! Gue benci-" dada gue terasa sesak, lihatlah, di umur gue yang masih muda, gue harus merasakan hal rumit seperti ini, gue selalu merasa jika hidup gue tidak bisa bahagia seperti orang lain, gue selalu saja menderita, bahkan gue selalu iri di saat teman-teman gue tertawa dengan riang, tertawa yang bukan untuk menutupi luka seperti apa yang gue rasakan.

***

"Kenapa adek gue nangis?" Suga mencengkram kerah baju Jihoon setelah melihat adiknya yang berlari dari ruang perpus dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, matanya yang sipit sudah menatap tajam ke arah Jihoon, menandakan jika amarahnya kini berada di puncak.

My Psycopath Brother and My Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang