Tea 3. Juwita Malam

27K 3.9K 246
                                    

-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-

Sinar matamu menari-nari
Masuk menembus ke dalam jantung kalbu
Aku terpikat masuk perangkap
Apa daya asmara sudah melekat

- Kris Biantoro (Cipt. Ismail Marzuki) -

-

-

Malam yang menggantung di atas langit Jakarta makin tua kala Mazda hitam milik Bastian, suami Disa, berhenti di depan gang daerah Mampang Prapatan. Lea yang duduk manis di jok belakang, asyik mengamati pasangan suami-istri itu dengan saksama. Sesekali dia bahkan menatap ke kanan, tidak sebentar dia mengawasi area kiri. Tempat Disa duduk.

Serius. Sepanjang perjalanan wanita beranak satu itu tidak pernah bisa diam. Telinga Lea sampai budek mendadak lantaran tidak tahan mendengar gosip sarat kesan julid dari bibir Disa. Padahal, baik itu Lea apalagi Bastian hanya sesekali menyahut, sisanya diam sepanjang perjalanan.

Lea jadi takjub dengan kesabaran Bastian, lantaran betah menghadapi mulut cerewet milik Disa. Mungkin ini yang dinamakan bila jodoh itu saling melengkapi. Basi, pikir Lea.

"Le, lo yakin udah enggak apa-apa?" tanya Disa menjulurkan kepalanya ke belakang.

"Paling besok itu biji tumbuh di kepala gue, Mbak," sahut Lea asal.

Disa terkekeh.

"Tapi kok lo bisa keselek sih, Le?" sambung Bastian menahan tawa dengan tatapan mengintip dari spion tengah.

"Dari tadi juga aku tanya gitu, Mas. Tapi Lea enggak mau jawab," sela Disa menahan tawa geli. "Kalah lo sama si Kenji, dia aja udah bisa makan rambutan sendiri. Enggak pakai keselek."

Lea mencebik, mendengar nama anak Disa yang baru berumur empat tahun itu disebut. "Enggak usah pada kepo. Gue balik ya. Thanks Mas Bas."

"Hati-hati, Le."

"Duluan Mbak."

"See you tomorrow, Lele."

Lea melambaikan tangannya dan diam sebentar sampai mobil hitam itu menghilang ke tikungan. Sambil menarik nafas panjang, Lea masuk ke dalam gang. Gang sempit yang hanya dapat dilalui kendaraan roda dua.

"Baru pulang Le?" sapa Lilis, penjual warung nasi gang.

Warung nasi sederhana yang biasanya Lea kunjungi bila gaji sudah mulai tiarap. Warung makan itu masih terang benderang walaupun sepi, karena sudah hampir pukul sepuluh malam.

"Belum tutup Bu? Tumben."

"Iya nih tanggung. Sekalian nunggu Bapaknya anak-anak balik," jawab Lilis sambil duduk-duduk pada bangku kayu panjang di depan warung.

"Kalau gitu saya duluan, Bu."

"Enggak mampir dulu?"

"Udah makan di luar. Permisi Bu."

 [SUDAH TERBIT] Midnight TeaWhere stories live. Discover now