See U Never

1.4K 91 8
                                    

Sekumpulan manusia tampak sedang bercengkrama, menikmati cahaya matahari dari sisi-sisi gazebo. Padahal sinarnya belum begitu terik, namun mereka tetap memilih untuk menyembunyikan diri dari matahari. Beberapa hari belakangan selalu turun hujan, mereka berdoa agar matahari tidak lagi sembunyi, namun sekalinya ia muncul malah dihindari seperti sekarang.

Langkah kaki melambat begitu mendekati gazebo. Saat tiba, beberapa dari sekumpulan orang hangat menyambut kedatanganku. Seseorang di sisi kiri menggeser dan mempersilahkanku untuk duduk di sampingnya.

Duduk di bagian paling pinggir bukanlah hal yang buruk, bahkan tidak ada yang salah sama sekali dengan duduk di paling pinggir. Hanya saja, seseorang yang tepat bersebrangan ini membuat perasaan menjadi tak kenal arah. Jika saja rasa itu diibaratkan kendaraan, sosok di depanku ini layaknya jalan yang bercabang.

Bibir tipis merah jambu alami itu tertarik ke atas. Tanpa ku sadar gerak bibir ini mengikuti miliknya. Seakan-akan bibir ranum itu adalah pemandu bibir yang dibalut warna marun.

Kulit kecokelatan yang nyatanya memang semanis cokelat itu pernah menjadi sahabat dari si kuning langsat. Sentuhan keduanya mampu menimbulkan hangat, hangat yang menjadi penghantar rasa nyaman. Nyaman yang membawa mereka menemukan terang setelah gelap berhasil dilewati.

Mata dengan lekungan bulan sabit saat tersenyum itu dulu pernah menatap wanita dan cukup membuatnya mabuk hanya dalam tatapan. Kepayang, membuatnya kehilangan arah dan berakhir di malam paling panas.

Pria itu menatapku. Tatapan hangat yang masih membuatku selalu ingin menyentuh setiap inci darinya dan membuat kehangatan itu mengalir dalam darah dan membuat jiwa beku mencair.

Kemana perginya waktu? Mengapa ia sulit untuk bertahan lebih lama? Rasanya baru kemarin semua itu milikku, kini sudah tidak ada lagi kepimilikan itu.

"Dia itu cuma friend with benefit gue. Ga akan ada hubungan lebih kalau sama dia."

Kata-kata itu terus terputar di kepala setiap kali hati mulai melemah melihat pemandangan di depan. Setan dalam diri seakan kembali menampar dengan kalimat yang membuat jiwa terasa mati. Setiap kata yang ku dengar secara tidak sengaja di lorong kantor seperti alunan musik yang terekam dan terus terputar setiap ritmenya di kepala.

"Gue lebih suka sama Spring, lebih kalem dan adem, bukan yang agresif kaya si Summer. Ngomong-ngomong, gue udah mulai ngajak Spring nge-date"

Beberapa bulan lalu, kalimat itu berhasil membuat Summer menjadi musim panas paling tandus yang pernah ada. Tidak ada yang menyejukan seperti angin pantai dan air laut pada Summer kali itu. Hanya panas, kering, dan berdebu.

Raga bekerja mati-matian untuk tetap terlihat hidup. Terlihat baik dan tegar seperti Summer pada biasanya yang selalu menjadi musim paling dinanti-nanti. Summer dengan kesejukan dan sinar hangat sekaligus. Namun batin memang bukan perkara mudah. Tidak ada yang mampu memaksanya untuk tetap tegar layaknya raga. Jika sudah hancur, ia akan menjalani perawatan yang lama agar bisa diperbaiki.

Tangannya melingkar di pundak seseorang. Hidungnya menyentuh pipi wanita itu dengan lembut dibarengi senyum lebar. Bahagia dan beruntung, seperti itu tampak dirinya sekarang.

Setelah lebih dari setahun bersama, menjadi penyembuh dari setiap luka dan penenang saat lelah, aku tidaklah lebih dari wanita murahan di matanya. Summer untuknya hanyalah musim untuk bersenang-senang. Menyerap hangat sinar matahari dan sejuknya angin pantai, lalu pergi. Meninggalkan bekas jejak di pasir yang sulit terhapus meski diusap ombak yang melipir halus.

Suasana ramai selalu terasa sunyi setiap mata ini berlabuh padanya. Hati seakan dibakar, panas. Udara pun menipis, membuat rongga dada sulit mendapati udara.

Mengapa memilihnya untuk menjatuhkan hati? mengapa memilihnya untuk percaya? mengapa menerima sikapnya?

Pertanyaan tanpa jawaban yang selalu muncul kala itu.

Ya, kala itu. Sekarang aku sudah memutuskan untuk bangkit dan merapihkan diri. Membenarkan semua yang semula rusak. Memang tidak bisa kembali seperti semula, karena akan tampak jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Hai," sosok laki-laki dengan tampilan kasual melambai ke arahku. Melangkah mendekat.

"Hei big guy," aku mengecup pipinya begitu ia tiba dan tersenyum.

"Guys, kenalin cowo gue," aku memperkenalkannya kepada seluruh temanku di sana. Yap, semua termasuk dirinya.

"Breezy," ujarnya sopan saat bersalaman dengan pria yang tepat berada di sebrangku.

Ia menerima salaman itu dan memperkenalkan namanya. Raut wajah yang ku paham betul terlihat begitu ia menerima jabat tangan Breezy. Ia terkejut sekaligus terpesona, mungkin. Karena kekasihku jauh lebih baik darinya.

He is the breeze for my summer.Jika saja saat itu aku tidak mendengar percakapannya di lorong kantor dan tidak menjauh darinya, mungkin aku tidak akan pernah menemukan Breezy. Menemukan yang terbaik dan meninggalkan yang baik memang terdengar sangat klise, namun itulah yang ku lakukan.

Setiap Summer, akan menemukan Breeze-nya. Memang harus melewati Summer yang tandus lebih dulu, agar Breeze itu terasa sangat menyejukan begitu didapat.

End

Please show me your love about this story.
Thank u.

Xo

One Sip Where stories live. Discover now