Crush

370 20 0
                                    

Perempuan dengan mata legam paling indah yang pernah ada. Rambut cokelat keriting dengan kulit sawo matang. Satu kata, sempurna.

Mata ini sulit untuk berpaling. Terasa sangat dramatis memang, namun kehadirannya selalu seperti drama romantis yang mengesankan hal manis. Memang seindah itu.

Kepulan asap yang mengikuti arah angin ke barat membuat pemandangan di depan tampak samar. Asap dari rokok seseorang di sebelah lah sumbernya.

Tangan refleks masuk ke dalam kantong. Kepala menunduk dengan kehendak otak yang berinstruksi bahwa dada sesak dengan asap.

"Sesek?" ujarnya.

"Ya lumayan."

"Kenapa masih di sini? Masuk gih." Kini Dia mulai menoleh.

Merasa sedang ditatap, pandangan yang semula mengarah ke rumput kini teralih kepadanya. Sungguh, manik mata legam itu candu sekali.

"Kenapa ngerokok?"

Dia memutar bola matanya jengah, dibarengi dengan decakan. "Ck. Udah dikasih tau padahal."

"Alasan 'biar ga suntuk' itu kurang jelas aja buat gue." Mencoba untuk sopan dengan menjaga nada bicara.

Dia melihat ke arahku. Tersenyum simpul kemudian kembali buang pandangan. "Masalah gue banyak. Dan dari sekian banyaknya dosa yang memungkinkan gue ngelakuin, seperti contohnya bunuh diri. Gue lebih milih ngelakuin dosa kecil ini."

"Ngerokok sama aja bunuh diri, bedanya perlahan."

"Seengganya kan gue mati karena sakit dulu, ga mati karena tangan sendiri kaya bunuh diri."

Sangat menarik. Dia selalu bisa mematahkan setiap kalimat yang terlontar  dariku untuk menyudutkan posisinya. Pernahkah kalian bertemu seseorang sesempurna Dia? Dia, perempuan yang berada di samping dan tengah asik menghisap tembakau ini adalah perempuan yang berhasil membuatku jadi pengagum sejak pertama melihat.

"Emangnya seberat apa masalah lo? Salah satunya deh."

Dia menghisap rokok itu lagi. Setelah kepulan asap terhembus dari mulut, matanya sedikit menyipit. "Apaya, saking banyaknya sampe bingung ha ha ha."

Tawa renyah yang selalu membuat degup jantung memacu cepat. Ditambah lagi, lesung pipi yang muncul setiap ia ketawa. Membuat jatuh cinta berulang kali.

"Satu aja. Masa satu aja ga muncul si di kepala lo dari sekian banyak masalah?"

"Oke. Satu ya. Uhm..," Dia menggumam. "Mungkin masalah Adek gue yang lagi di ICU. Itu paling standar sih karena dia kecelakaan dan udah sadar. Cuma lumayan buat pusing lah tagihan rumah sakitnya karena biaya operasi kaki."

Ku anggukan kepala paham. "Mau gue bantu dana?"

Ia menoleh lagi. Menatapku aneh. "Apaan sih, gausah lebay lo ya. Gue masih bisa lah bayar rumah sakit. Gaji lo sama gue kan gedean gue."

Ini adalah salah satu dari sekian banyak alasan untuk mencintai Dia. Merasa selalu kuat untuk menopang semua beban yang ada, padahal jelas membutuhkan bantuan. Perempuan paling mandiri dan kuat yang pernah ku temui di Bumi.

"Ya, gaji gue kan cuma buat biayain gue sendiri. Ga ada tanggungan, kalo lo mau bisa kok gue pinjemin."

"Gausah. Serius deh gue masih bisa."

Sungguh, aku selalu mengharapkan Dia membagi satu dari sekian banyak bebannya padaku. Jadikan aku sebagai bagian dari dunia Dia agar aku tahu bagaimana berada di dunia seorang perempuan sempurna.

"Di," suara bariton itu muncul dibarengi dengan langkah sepatu yang menginjak rumput.

Dia memutarkan badan melihat ke sumber suara. Dibarengi denganku yang juga ikut memutar badan.

Rokok itu Dia lempar ke rumput dan diinjak cepat-cepat.

"Putra," lesung pipi itu kembali muncul karena sebuah senyuman baru saja terlukis di wajah indah. Senyuman yang ku harapkan selalu hadir begitu ia melihat aku muncul.

Putra paling beruntung. Mendapatkan wanita paling sempurna yang sudah lama ku cinta. Potongan pria dengan tampilan santai kaus polo dan celana chino rupanya yang bisa mendapatkan hati Dia.

Pelukan hangat yang ku harap bisa ku dapatkan suatu hari nanti itu rupanya kali ini bukan lagi jadi milikku. Dia memeluk Putra sebagai sambutan.

"Aku laper."

"Aku juga. Yuk cari makan."

"Tunggu deh, kamu bau rokok. Ngerokok lagi?"

Dia hanya diam. Tidak menjawab.

Putra melempar pandangan ke arahku yang ku tanggapi dengan kedua bahu terangkat. Selain memberi tanda pura-pura tidak tahu, hal ini akan menjauhkan aku dari pertikaian kecil mereka.

"Aku janji ga akan ngerokok lagi. Sekarang makan yuk." Dia langsung menarik tangan Putra dan melangkah menjauh.

Aku hanya diam menatap batang yang sudah mati itu dan beralih ke arah dua punggung yang mulai melangkah memasuki gedung kantor. Dia tampak melingkarkan kedua lengan di lengan Putra. Seperti merajuk dan bersikap manja. Mungkin meminta maaf karena merokok lagi.

Andai Dia tahu, bahwa aku tidak pernah masalah dengan obat penghilang suntuknya itu. Tidak masalah dengan semua masalahnya. Tidak masalah dengan penampilan yang sempurna milik Dia. Aku sungguh cinta.

Namun apa artinya Cinta jika hanya bertepuk sebelah tangan? Dari dulu aku tahu bahwa Dia tidak pernah menganggap kehadiranku sebagai seseorang yang penting. Aku tidak keberatan dengan itu, setidaknya masih berada di sekeliling Dia sudah cukup menjadi semangat harian.

Kalian tahu, tidak semua crush bisa berakhir menjadi pasangan. Aku salah satu dari mereka yang tidak berhasil membangun hubungan dengan crush. Dan tentu saja aku tidak masalah. Aneh memang karena semakin dewasa yang ku inginkan hanya kebahagiaan, bukan pasangan. Dan Dia adalah bagian dari bahagia. Itu cukup meski terdengar naif.

End

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Sip Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang