Diskusi

300 20 0
                                    

Bulir bening jatuh dari sudut mata membasahi pipi. Mata itu sudah sangat panas seperti suhu tubuh. Lutut yang kini sebatas dada pun mulai ditarik dalam pelukan, menempelkan dagu dan mencoba memberi ketenangan untuk sendiri.

Di sisi lain, seseorang tampak berantakan. Bukan penampilan, melainkan raut wajah. Mendung dengan perpaduan amarah, layaknya langit saat hujan campur badai.

Keduanya duduk saling membelakangi. Niat hati ingin menenangkan diri, mereka malah merasa semakin sendiri dan sakit hati. Suasana malam yang sedang tenang berbintang di luar pun tidak bisa memberikan cahaya untuk sang penghuni rumah.

"Kita sudah terlalu sering seperti ini. Lebih baik cerai." Perempuan di bagian kanan yang mulai jengah dengan keheningan pun mulai buka suara.

"Semudah itu setelah delapan tahun bersama?" pria di kiri menanggapi begitu lawan bicaranya berhenti meloloskan kata.

"Apa yang kita sebenarnya inginkan dari pernikahan ini? Kamu mapan dan hebat dengan pekerjaanmu, aku pun sama. Kita sama-sama tidak memiliki bagian kosong yang harus diisi bukan?"

Pria itu memutar tubuhnya menjadi menghadap depan. Setengah putaran lagi, ia akan menghadap ke arah yang sama dengan sang istri, namun ia tidak menginginkannya.

Mata itu sendu, menatap lantai mengkilap yang rutin dibersihkan oleh sang pembantu. Kepalanya terus berpikir dan mencerna perkataan sang istri. Jauh di dalam lubuk hati, perceraian tidak pernah ia inginkan, namun hidup dengan segala pertikaian bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati.

"Kita belum punya anak. Belum terlalu tua juga untuk menikah lagi. Mungkin kita menikah bukan untuk tua bersama, melainkan hanya sebagai pelajaran hidup." Wanita itu kembali melanjutkan perkataannya dengan mata menatap lurus ke depan.

Pandangannya kosong. Setiap kata yang ia keluarkan seakan menancapkan belati ke diri sendiri. Airmata yang menumpuk di pelupuk itu pun jatuh deras dengan satu kedipan.

Lagi. Keduanya kembali terjebak dalam sunyi. Kepala bekerja rodi untuk mencerna semua kejadian. Saling tidak hadir untuk sama lain karena mengejar materi mendudukan mereka dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang membuat hati kembali merasakan sebuah rasa karena sudah terlalu lama tidak ditanggapi. Logika sudah cukup mengambil banyak alih dalam kehidupan, ia digunakan tanpa ada kerjasama dengan sang hati yang seharusnya menjadi pasangan dalam setiap aspek dalam diri.

"Kamu tau ga akan ada yang mau mengalah diantara kita soal ini. Aku bangun karir susah payah, begitupun juga kamu dan bisnis. Jadi, lebih baik kamu cari perempuan yang bisa meluangkan waktu lebih banyak di rumah untuk kamu dibandingkan aku yang hanya bisa bertahan dengan ambisi." Lagi-lagi sang istri mengutarakan kata-kata yang menyakiti dirinya. Setiap kata yang keluar selalu berbarengan dengan airmata yang muncul dan menumpuk di pelupuk.

Pria di sampingnya tersenyum tipis. Sangat tipis sampai membuat siapa yang melihat tau bahwa itu senyum dengan arti paling perih yang pernah ada. Ia tidak menangis dan mengeluarkan airmata seperti sang istri, tapi tidak ada yang tau bahwa hatinya mulai teriris dengan setiap kata-kata tadi.

"Saya bangun bisnis saat dengan kamu. Kamu tau berapa kali saya gagal, kamu tau betapa terpuruknya saya saat gagal. Begitupun dengan saat dimana kamu gagal wawancara kerja berulang kali. Saya tau betul gimana hancurnya kamu.

"Lucu ya, sekarang kita bertengkar karena permasalahaan yang saat muda dulu kita pupuk."

Wanita itu menoleh tanpa memutar badan. "Maksud kamu?" tanyanya.

"Saya dan kamu dulu sudah sama-sama tau kalau kita berambisi mengenai karir. Alasannya satu, agar kelak berumah tangga nanti bisa hidup senang dengan memberikan yang terbaik untuk keluarga. Nyatanya sekarang, karir malah yang menjadi duri di rumah tangga. Tau begini, saya ga akan serius bisnis saat itu, biar bisa punya waktu banyak untuk kamu dan rumah tangga tetap baik-baik aja."

Airmata mulai mengering tanpa disadari mendengar setiap kata yang keluar dengan intonasi sangat lembut. Tiba-tiba saja rasa tenang menjalar ke seluruh tubuh. Wanita itu kini membalikan badan. Kepalanya menghadap sang pria dan menatap dengan mata sembab.

"Kamu tau aku gamau nikah sama yang pas-pasan kan!" mata sembab itu menatap sang pria tajam.

Yang ditatap justru tertawa renyah. "Kalau gitu biarin aja rumah tangga kita gini terus. Ribut mempermasalahkan hal yang intinya itu-itu aja." Balasnya.

"Hih nyebelin." Hanya ini yang lolos dari bibir penuh sang istri.

Hatinya terasa mulai tenang. Ia menyadari bahwa pertengkaran ini tidak berawal dari masalah besar, namun terasa begitu memuakan karena sering dilakukan.

"Kayanya kita mulai harus lebih sering sex. Karena seinget aku, kita lebih sering bertengkar dibanding melakukan hal yang menyenangkan itu."

"Gimana mau sering, kamu selalu pulang malam." Celetuk sang suami.

"Mulai deh." Sinis istri.

Kemudian terjadi keheningan lagi. Keduanya berpikir ke arah yang sama sekarang. Solusi.

"Kita buat perjanjian. Jam 8 malam udah harus di rumah? Gimana?" Sang pria terlihat mulai memberikan saran.

"Aku itu kerja sama orang. Kalau ada lembur atau kerjaan dadakan gimana?"

"Lho? kamu pikir saya ga ada evaluasi sama karyawan setiap hari setelah resto tutup? Saya juga punya jadwal, tapi demi rumah tangga kita saya kesampingkan."

"Tapi itu kan bisnis. Kamu bosnya. Beda sama aku yang cuma punya jabatan aja, tapi ga memiliki. Kamu paham bedanya kan?"

"Kalau sebuah usaha pemimpinnya ga profesional, gimana usahanya mau maju? Saya juga harus profesional. Kamu kan manajer, kesayangan CEO lagi. Masa iya jam 8 aja sulit?" Suami mulai menggelengkan kepala sembari tersenyum sinis merespon perkataan sang istri.

Merasa sudah sangat muak dengan pertengkaran yang berlangsung dari senja tadi. Sang istri mulai menghela napas. Memikirkan jawaban agar menemukan sebuah kesepakatan.

"Oke. Jam 8 malam. Aku ngalah demi rumah tangga kita." Balas sang istri.

"Saya juga mengalah demi rumah tangga kita." balas Suami.

Setiap pertengkaran yang terjadi membuat keduanya merasa kehilangan satu bagian dalam diri. Mereka terlalu sibuk mempermasalahkan hal yang sama sampai lupa bahwa solusi juga harus sama, satu tujuan, selaras. Rumah tangga itu menempatkan dua kepala dan dua hati untuk menjadi satu, jika hanya kepala saja yang digunakan, maka hubungan tidak akan berjalan sesuai. Hati juga harus mendapatkan porsinya. Tidak perlu hal manis, hanya dengan selalu hadir saja hati sudah bisa terasa penuh.

Keduanya pun kembali terjebak dalam keheningan selama beberapa menit. Menyurutkan segala emosi hingga pada akhirnya sepasang mata itu bertemu sepasang mata lain. Saling tatap, dan menghela napas bersama. Semua terjadi begitu cepat, hingga kini kedua bibir itu saling terpaut. Tidak ada ciuman lembut nan manis, melainkan ciuman berapi-api yang memang akan ada tindakan lanjutnya.

Bersetubuh memang bukan solusi yang tepat, namun setidaknya itu adalah solusi nikmat.

End

One Sip Där berättelser lever. Upptäck nu