17. Perkembangan

809 117 9
                                    

Song Woorin

Sudah setengah bulan, Jihoon sungguh berubah. Aku sendiri terkejut dengan perubahan yang tiba-tiba ini.

Dia tidak lagi pulang larut malam. Selalu tepat waktu jam 8 malam. Sekalinya akan lembur, dia pasti memberitahukanku dan mengerimkan pesan yang bukan Jihoon. Maksudnya dengan kata-kata yang seperti memerintah dan sedikit datar. Dia sekarang bisa mengucapkan 'Mianhae', 'Selamat tidur', 'Jangan lupa makan', dan kata-kata hangat lainnya.

Lalu dia juga sudah sering membuka percakapan saat dimeja makan. Mau itu pagi atau malam. Dia katanya ingin mencoba datang ke rumah saat makan siang. Namun sampai sekarang itu belum juga menjadi kenyataan. Mungkin karena jarak rumah ke kantor memang terlalu jauh, sampai dia sulit menepati janjinya yang ini.

Selain itu, Jihoon juga berusaha melakukan berbagai aktivitas lain yang bisa kita lakukan bersama. Bersih-bersih. Berbelanja. Atau hanya sekedar mengantarkanku ke supermarket saat dia pergi kantor.

Sungguh. Perubahannya ini terlalu drastis. Bukan aku tidak bersyukur. Aku sangat menyukainya. Tapi aku justru takut ini hanya sementara. Lebih buruknya lagi dia melakukan ini hanya untuk membuatku tidak terbebani menjadi istrinya.

Bukankah itu sama saja membuatnya membalas budi padaku?

Aku memang selalu memikirkan banyak kemungkinan. Itu tidak lain karena keresahanku. Keresahanku yang takut terbiasa dengan sikap lembutnya ini. Terbiasa dengan segala kebaikannya. Sampai aku lupa jika sebenarnya sikap aslinya itu tidak lah seperhatian ini.

Dan sekarang, aku bahkan menunggunya di depan pintu untuk menyambut kepulangannya. Ini sudah menjadi bukti jika aku menunggu-nunggunya pulang ke rumah. Aku takut, jika seandainya dia berubah kembali, aku tidak bisa menerima perubahannya itu.

Tuk.. Tukk.. Tuk..

Seketika ku buang prasangka buruk di otakku sendiri. Membukakan pintu tanda mengecek kembali siapa yang ada di seberang pintu. Tersenyum tipis dan menyambutnya dengan senang hati.

"Kau semakin cepat saja membukakanku pintu."

Ku sembunyikan rona merah yang terbentuk dari rasa malu ini. Bagaimana jika dia tau, aku menunggunya pulang? Apa dia akan mentertawakanku? Atau dia justru terharu karenanya? Ahh.. Sepertinya pilihan kedua tidak akan menjadi jawaban.

Ketika aku kembali sibuk dengan pikiranku, Jihoon menyentuh kepalaku dan menatap kedua mataku dari bawah. "Kenapa bengong?"

Ini salah satu kebiasaannya yang membuatku semakin nyaman. Dia sering kali menyentuh kepalaku. Mengusapnya lembut atau sekedar mengacak kecil seperti ketika dia tertawa dengan jawabanku.

"Ani. Aniyo." Aku masih menunduk. Satu hal lagi yang belum bisa ku hilangkan. Takut menatap matanya. Namun dengan alasan yang berbeda. Matanya kali ini membuatku tidak mau berhenti menatapnya. Seakan-akan aku tidak mau dia menghilang dari pandanganku.

Aku tidak bisa membayangkan jika aku semakin jatuh cinta dengannya.

"Kau lagi berkelana dengan pikiranmu lagi ya." Tebaknya. Dia tersenyum. Setengah tertawa. Aku tau apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Jihoon mengacak-acak rambutku sedikit. Mengusapnya lagi untuk merapihkan anak rambutku. Lalu berjalan menuju meja makan. "Kau masak apa hari ini?"

Dia membuka tudung sajinya sendiri. Aroma mie dingin yang baru selesai dimasak langsung menggugah seleranya. "Naengmyeon!" Nada exitednya membuatku senang sekaligus bahagia.

"Kau sungguh membuatkan makanan kesukaanku. Padahal aku tidak bermaksud menyuruhmu." Katanya. Dia langsung duduk dikursi yang biasa didudukinya. Mengambil satu mangkuk yang akan diisi nasi.

WWWWhere stories live. Discover now