33. Inspirasiku

625 109 14
                                    

Lee Jihoon

Kenapa dia belum membalas pesanku? Besok sudah seminggu. Dia tidak mau memberitahuku jam berapa dia akan pulang? Mau aku menjemput atau apa begitu? Diam-diam saja. Buat aku tidak berhenti-henti menatap layar ponsel ini saja.

Aku lama-lama bosan melihat layar datar dengan kata read yang semakin menjengkelkan beberapa hari terakhir ini.

Sudah 2 hari dia tidak mengabariku. Apa saja yang dia lakukan? Tidak tau apa aku khawatir. Apa memang dia tidak merindukanku?

"Jihoon."

"Lee Jihoon."

"Song Jihoon."

Soonyoung memutar otak untuk mencari cara ampuh. Tak lama seulas senyum terukir dibibirnya. "Woorin ada di depan."

"Woorin?" Jihoon sontak melihat ke arah Soonyoung dan mencari keberadaan seseorang yang baru disebutkan Soonyoung.

"Yak! Aku daritadi memanggilmu tidak didengar, dengar nama Woorin sudah langsung cari. Ketahuan sekali kau merindukannya." Sadar dengan ucapannya sendiri, Soonyoung langsung melayangkan sebuah senyuman penuh makna padaku.

"Sudah bisa kangen rupanya." Ledek Soonyoung sukses memunculkan rona merah di pipiku. Bersamaan dengan sensasi hangat yang menjalar hingga jantung dan memberikan efek debaran yang sangat kuat.

Aku refleks menyentuh dadaku sendiri. Nafasku semakin pendek. "Berhenti kau." Ku dorong pundak Soonyoung kasar. Karenanya, sekarang aku sakit jantung. "Ini semua salahmu. Sekarang aku jantungan."

Soonyoung menyerjitkan alisnya tanda bingung. Awalnya dia tidak tau maksudku dengan jantungan itu. Tapi bibirnya yang tiba-tiba melafalkan huruf 'O' besar tanpa bersuara diikuti dengan tawa yang cukup besar.

"Kau mentertawakanku?? Ini sudah sesak tau tidak. Tidak tanggung jawab." Omelku.

"Aku harus tanggung jawab apa? Membawamu ke rumah sakit? Memberikanmu jadwal operasi penggantian jantung? Atau memasukkanmu ke dokter jiwa agar kau tau jika jantungmu itu tidak rusak." Kata Soonyoung. Penuh penekanan di setiap katanya.

"Kau gila ya." Sarkasku. Namun Soonyoung tepat saja mentertawaiku dengan nada yang.. Menyindir. Entah apa maksudnya.

"Sial kau."

"Daripada kau terus menyumpahiku dengan kata-kata kasar, lebih baik telepon Woorin saja. Siapa tau jantunganmu itu hilang." Balas Soonyoung lagi. Lalu melongos begitu saja duduk di kursi kerjaku dan mengenakan headphone yang pasti masih hangat karena ku pakai.

"Yak! Headphone-mu panas. Kau itu api ya? Tidak kepanasan apa dengan suhu seperti ini. Kuat lagi tidak dilepas-lepas." Oceh Soonyoung. Walau begitu tetap saja dia lanjut mengenakan benda penyumbat telinga itu. Orang aneh.

Tanganku pun bergerak menekan nomor-nomor yang sampai ku hafal sekarang. Menempelkan ponsel pipih itu di telingaku dan mendengarkan nada dering yang menemaniku selama menunggu Woorin mengangkatnya.

Cukup lama aku menunggu. Selama itu juga ku lihat Soonyoung tersenyam-senyum sendiri mendengar playlist yang baru saja ku buat. Termasuk playlist yang akan ku jadikan CD demo.

Sambungan itu berakhir. Aku tidak menyerah begitu saja. Sekali lagi aku melakukan penggilan masuk dan sekarang baru diangkat dengan cepat. "Woo-"

Di matikan lagi.

"Wae?" Gumamku. Soonyoung tidak mendengar suaraku karena masih sibuk menjadi orang gila di depan komputerku. Lagi-lagi kepalaku berpikir negatif. Tidak biasanya Woorin mematikan panggilanku.

Salah. Memang aku tidak pernah meneleponnya. Kami selalu bertukar pesan saja. Tidak pernah saling menghubungi melalui telepon. Apa dia takut saat menelepon? Tapi kenapa harus mengangkat dan langsung mematikannya kembali? Ini kan membuatku jadi khawatir.

WWWWhere stories live. Discover now