Sex Policy

6.8K 36 0
                                    


Gina sangat bahagia, akhirnya dia dapat duduk di kursi idamannya. Saat masa interview kemarin, Gina sempat melewati ruangan yang sekarang menjadi area kerjanya, sebuah ruangan berdinding kaca, dihuni lebih kurang 8 orang yang tergabung dalam tim Human Capital.

Gina adalah seorang alumni universitas negeri dengan biaya ditanggung beasiswa dan beruntungnya lagi mendapatkan rekomendasi untuk bisa mengikuti rekruitmen di perusahan multi nasional.

Gina baru saja membuka PC yang terpampang di hadapannya, kemudian datanglah beberapa pria yang mulai mengerubunginya satu persatu... Bermacam-macam hadiah yang mereka berikan, sejauh ini masih belum ada yang aneh-aneh.

"Kamu siapa?" Tanya pria itu dengan congkaknya.
"Saya Gina..staff baru disini pak."
"Malai sekarang, kamu partner saya."
"Maksudnya pak?" Bukannya menjawab, pria itu justru pergi.
"Duh, Gina.. iya kan aja."
"Dia siapa?"
"Dia General Manager disini, alis pimpinan tertinggi di cabang kita, namanya pak Andra."

Karena tak jelas dengan jawaban yang diberikan oleh temannya, maka Gina menghadap ke kepala divisi yang membawahinya, pak Herman. Namun justru beliau menyuruh agar Gina segera menghadap pak Andra untuk memperjelas.

Setelah mendapatkan arahan menuju ruangan pak Andra, akhirnya Gina pun sudah sampai dan dibuat bengong disana. Pasalnya Gina melihat sebuah pintu pantry yang berada di belakang meja sekretaris dengan daun pintu setengah terbuka. Masalahnya adalah apa yang ada dibalik pintu tersebut. Belum selesai Gina memaknai semua, pak Andra justru mengagetkan dirinya.
"Saya bisa kasih kamu sex drive."
"Ya ampun pak..."
"Kamu masih mau lihatin sekretaris saya menuntaskan urusan? Kita juga punya urusan yang harus diselesaikan."

Dia berbicara dengan nadanya yang datar namun menusuk. Akhirnya karena tak ingin memperpanjang masalah, Gina pun memasuki ruangan pak Andra yang sudah terbuka untuknya. Memasukinya membawa hawa yang berbeda, seolah udara menipis dan tekanan udara serasa mencekat kerongkongan, membuat Gina tak mampu bicara.

"Mulai hari ini, Bu Rose akan menyesuaikan jadwal kerja mu dengan keperluanku. Jika sewaktu-waktu aku membutuhkanmu, kau harus datang."
"Apa yang butuhkan dari saya?"
"Biasanya nyusu sama ngentot."
.
.
.

Gina mendapatkan jawaban Andra seolah tamparan keras yang sewaktu-waktu bisa membunuhnya. Astaga, perusahaan apa ini? Bagaimana mungkin ada kebijakan segila ini? Namun Gina bisa menilai bahwa pak Andra tidak akan punya waktu untuk melakukan prank sejauh ini.

Lamunan Gina pun buyar, sesaat setelah dering telepon di mejanya. Dia pun berjalan menuju ruang HRD dimana Bu Rose sudah menunggunya.

Gina tidak perlu mengetuk pintu, karena pintu sudah terbuka dan Pak Andra juga sudah ada di dalamnya, seolah konspirasi sedang menunggu Gina untuk masuk ke dalam jaringnya yang menjerat.

"Bu, saya ingat. Dalam persyaratan tidak menyebutkan bahwa akan ada kewajiban seperti itu."
"Kamu tahu kenapa kamu diterima?"
"Karena saya lulus semua tahap seleksi."
"Dan kamu belum menikah." Sambung bu Rose.
"Jadi maksud ibu, semua staf disini belum menikah?" Bu Rose mengangguk mendengar pertanyaan Gina.
"Nanti kalau semisal saya menikah bagaimana?"
"Paling juga kamu nikah sama saya." Tukas pak Andra cepat.
"Saya punya tunangan pak."
"Kalau gitu putuskan dia." Jawaban pak Andra seolah mutlak harus diaminkan oleh keduanya, kemudian dia pun berdiri dan meninggalkan ruangan.

"Gina, kamu harus mengerti. Partner kamu pak Andra, jadi mulai sekarang jadwal kerja mu juga akan disesuaikan. Terkait masalah kebijakan tersebut, kamu sudah tidak boleh protes karena kebijakan itu berlaku semenjak puluhan tahun lalu."
"Lalu buat apa kebijakan itu? Memang pak Andra tidak bisa membatalkan?"
"Masalah itu, kamu harus tanya sendiri. Kamu kan partnernya. Satu lagi, jika sewaktu-waktu pak Andra butuh, kamu harus siap."
"Maksud ibu diluar jam kerja?"
"Iya. Dan satu lagi, jangan pernah resign. Karena kamu akan kena denda penalti."
"Iya bu, saya paham. Tapi apa tida ada jalan keluar yang lain bu?"
"Nggak. Tapi kamu jangan khawatir, pak Andra baik kok orangnya, nggak gigit. Sekarang kamu ke ruangan dia."
.
.
.

Gina tak menyangka bahwa sekretaris pak Andra adalah seorang pria. Setelah dipersilahkan masuk, kini Gina masih bersitatap dengan pak Andra dalam diam.
"Jadi kamu mau bahas apa?"
"Saya... Saya.." keberanian Gina pun lenyap saat pintu ruangan pak Andra tertutup. Gina juga tidak tahu apa yang bisa terjadi saat pintu ruangan tertutup.

"Kalau nggak ada apa-apa, saya mau istirahat." Ujar pak Andra. Namun sayangnya Gina salah menyikapi kata 'istirahat' yang bosnya lontarkan.

"Pak.. mau ngapain?" Tanya Gina saat tangannya ditarik dan pantatnya duduk sempurna di meja kerja pak Andra.

"Jadwal saya nyusu."
"Tapi pak...mmmphh." mulut Gina terbungkam saat pak Andra memberinya sebuah ciuman mendadak dan memaksa Gina membuka bibirnya. Tangannya juga masih meraup seluruh tubuh Gina dalam pelukannya dan membuat gadis itu mengalah.

Ciuman itu masih berlangsung, sekalipun tangan Andra sudah mulai menjelajahi kancing kemeja Gina, kemudian menarik kemeja tersebut yang sebelumnya rapi tertata pada susunannya. Andra sedikit berimprovisasi, karena Gina menggunakan BH konvensional, dimana pengaitnya berada di belakang.

Ciuman berhenti karena Andra sedang menyiapkan dirinya untuk menyerang titik lainnya. Mereka pun saling mengambil nafas dan menyatukan kening mereka, "lain kali pakai yang pengaitnya di depan."

Gina tak menjawab, karena dia masih sibuk menuntaskan nafasnya yang tersenggal.
"Nanti malam kita belanja pakaian dalam buat kamu."
Selesai dengan kalimatnya, Andra pun menurunkan kecupannya dari leher hingga menyentuh payudara Gina. Benar-benar menyusu layaknya bayi yang kehausan sambil beberapa kali memilin puting sebelahnya. Lidah Andra juga menjilat dan sesekali menggesekkan giginya, sehingga menimbulkan sensasi nyeri, was-was, namun nikmat.

"Aah... Pak,, sudah.." lenguhan Gina berlanjut saat Andra mulai menghisapnya dengan keras dan kuat. Kemudian mulutnya pun berpindah ke payudara sebelahnya. Puting yang sudah basah itu terlihat tegang, mancung, dan tegak memanjang akibat hisapan Andra yang tak kenal ampun.

"Kenapa? Tunangan kamu lebih memuaskan daripada saya?"
"Bukan pak... Aahhh..."
"Lalu?"
"Udah pak... Gimana saya mau jawab kalau...ahhh aahh..."
"Saya cuma mau nyusu, kamu nikmati aja."
.
.
.

Gina keluar dari ruangan Andra dengan wajah memerah, dia tak menangis, dia hanya shock. Bahkan Andra memberikan jaket motornya agar bisa Gina gunakan, mengingat Andra sudah merusak semua kancing blouse Gina.

Gina duduk dan meletakkan ponselnya. Sulit sekali rasanya ia menelan ludah sekarang, karena ia masih mengingat rasa bagaimana Andra menjilat seluruh bagian lehernya, meski tak meninggalkan bekas.

"Pak Andra mainnya lembut ya, Gi?" Goda teman prianya. Gina hanya menunduk, antara malu dan takut.
"Santai aja, nanti juga biasa. Banyak loh pegawai yang berharap dijadikan partner, tapi sayang pak Andra cepet bosan."
"Semoga pak Andra segera bosan juga sama aku."
"Mustahil. Karena pak Andra sendiri yang memilih kamu."

Seorang OB menyela perhatian mereka dan meletakkan sepiring steak dan jus di meja Gina.
"Ini pesanan pak Andra untuk mbak..."
"Gina, nama saya Gina."
"Permisi mbak Gina."
"Terima kasih, mas."
Kemudian ponsel Gina menunjukkan notifikasi pesan dari seseorang, siapa lagi jika bukan pak Andra, bos sekaligus partner nya.

_jangan lupa makan siang dan jangan diet. Nanti kita belanja setelah jam kantor_
.
.
.

Building One Shoot (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang