Menarilah Merah Putihku

15 1 0
                                    

oleh KRISTINA BUULOLO


Dibawah langit biru cerah menarilah sebuah kain berwarna merah dan putih. Gerakannya semakin memikat saat ditiup angin. Terasa semakin khidmat saat diiringi alunan suara merdu lagu 'Indonesia Tanah Airku Tanah Tumpah Darahku'. Tangan mereka seraya terangkat, menghormati bendera tersebut. Adam melihat hal itu hanya mampu mengikuti dengan wajah kebingungan.

Usai upacara penaikan bendera, Adam berlari menghampiri Gurunya dan bertanya, "Pak Guru, mengapa semua orang mengangkat tangan menghormati kain merah putih itu? Apa begitu penting sehingga semua orang bernyanyi untuknya?"

Pak Guru diam dan tersenyum lebar. Adam menatap wajah gurunya seraya mengambil catatan kecil dalam tasnya dan berkata, "Dalam senyuman Pak Guru, Adam tak mendapatkan jawabannya."

"Kemarilah, Nak."

"Dulu, berjuta kehidupan telah hilang untuk mengibarkan bendera itu. Mereka merelakan tubuhnya dicabik-cabik pisau tajam, merelakan badannya diwarnai cambukan panjang, merelakan hidupnya ditembus peluru api. Belum lagi mereka menahan lapar hingga seluruh badan tinggal tulang melekat tulang. Ditambah pencabulan yang begitu sadis merenggut beribu nyawa tak berdosa."

Pak Guru menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, "Begitu besar rasa cinta tertanam di negeri ini, hingga kehidupan jadi taruhan demi kesejahteraan kita, sekarang ini.  Bayangkan tiga ratus lima puluh kita dijajajah Belanda dan tiga setengah tahun jepang menjajah kita, berjuta kehidupan tumbuh jika hal itu tidak terjadi, namun sebaliknya berjuta kehidupan bersimpuh darah menebar disetiap cekalan tanah."

Pak Guru menatap kibaran kain berwarna merah dan putih dengan mata berkaca-kaca. " Sebenarnya, bukan kain itulah yang kita hormati dan dinyanyikan lagu kebangsaan, melainkan perjuangan para pahlawan kita yang bertumpah darah mengibarkan kain perjuangan darah dan kesucian itu." Suasana hening seketika.

"Apakah kamu mengerti sekarang, Adam?" Pak Guru memecahkan keterkejukan Adam yang menganga sedari tadi.

"Iya, Pak Guru. Paham," ucap Adam dengan yakin.

"Jadi, jangan sia-siakan sekolahmu, belajarlah dengan giat raih mimpimu setinggi mungkin agar kibaran bendera itu terus menari mengiringi perjuanganmu. Ingat! Kamu lahir di negeri ini, suatu saat kamu merantau di negeri asing jangan lupa kembali pada rahim yang melahirkan dan memperjuangkan hidupmu," ujar Pak Guru mengelus kepala muridnya.

"Bagaimana dengan Pak Guru sendiri, apakah sudah mencintai negeri ini?" tanya Adam menerawang wajah Gurunya.

"Iya, sudah. Buktinya Bapak menceritakan hebatnya perjuangan para pahlawan dan membagikan ilmu tiap harinya kepada kamu, Adam."

Adam memutarkan bola matanya dan tersenyum. "Adam akan belajar keras hingga waktu lelah menemaniku."

Adam meraih ransel merahnya berlari memasuki kelasnya dengan wajah bahagia. Dalam benaknya berkecamuk rasa syukur karena memiliki negeri penuh perjuangan, alam kaya dan cinta serta kebhinekaan meramuk indahnya, Indonesia.

Medan, 30 Juni 2019

_____________________________________________

Hallo, terima kasih sudah membaca cerita ini, semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejak, satu vote dan comment dari kalian sangat mendukung kami.

Ruang Fiksi (Fiksi Mini dan Cerpen)Where stories live. Discover now