Nayra Arista Zahrany, nama cantik itu berasal dari sepasang suami istri yang sudah mendambakan anak selama kurang lebih empat tahun lamanya. Nama yang mempunyai makna 'lemah lembut nan bercahaya bak bunga putih' itu nyatanya menjadi boomerang untuk dirinya sendiri di usia tujuh belas tahun.
Bagaimana bisa aku menjadi lemah lembut seperti namaku jika perlakuan orang tuaku saja tidak menggambarkan itu? Begitu pikir Nayra.
"Kamu itu emang gak bisa diandalkan, ya, dari dulu. Aku tuh capek kalo harus kayak gini terus, Mas! Kamu tau gak gimana menderitanya aku selama ini? Aku gak bisa ngapa-ngapain karena kamu!"
"Kamu pikir aku mau kayak gini terus? Aku juga malu sama tetangga, dan saudara-saudara yang sekarang udah pada sukses. Kamu tuh sebagai istri harusnya dukung aku, jangan nuntut aku terus, jangan nyalahin aku terus! Kamu pikir aku gak capek?! Kalau kamu mau keadaan berubah, kamu cari aja cara kamu sendiri!" Lawan bicara dari perempuan berusia tiga puluh lima ke atas itu ikut tersulut emosi.
"Loh? Kok kamu jadi nyalahin aku? Kok kamu malah nyuruh aku cari cara sendiri? Di sini yang jadi kepala keluarga siapa? Yang harusnya bisa ngurus rumah tangga dengan baik siapa? Pemimpin di rumah ini siapa, hah?!"
Nayra yang ingin menyantap sarapan di meja makan itu mendengus pelan. Keinginannya untuk sarapan hilang sudah. Akhirnya ia mengambil roti jatah sarapannya untuk dibawa ke sekolah. Rasanya, Nayra sudah sangat kenyang karena mendengarkan pertengkaran rutin antara orang tuanya.
"Nayra! Sarapan dulu kamu! Jangan main berangkat gitu aja!" Hilda -- ibunya Nayra -- memperingati anaknya. Namun, Nayra tak acuh dan langsung berjalan keluar rumah.
Lantunan musik pop mulai merasuk pendengaran Nayra. Ia memilih untuk mengenakan earphone sembari menunggu angkutan umum di pinggir jalan raya. Sesekali ia melihat ke pergelangan tangannya untuk mengecek arah jarum jam yang berjalan dengan pasti.
"Eh, Nayra! Tumben datengnya pagi banget. Biasanya selalu mepet karena alesan abis belajar dulu di rumah." Icha menyapa Nayra yang baru saja duduk di kursinya. Nayra sedikit terperangah, mengapa teman satu kelasnya itu tiba-tiba menyapanya?
Iya, males soalnya denger ortu berantem.
Begitu jawaban yang ada di pikiran Nayra. Namun, seorang Nayra tidak akan membalas dengan jawaban yang seperti itu pada temannya. Nayra tetaplah seorang perempuan pendiam, yang cenderung tertutup dari orang lain.
Nayra hanya menjawab sapaan Icha dengan sedikit tersenyum, kemudian mulai membuka ompreng yang ia bawa dari rumah. Nayra memakan roti itu dengan perasaan yang hambar. Rasanya bayang-bayang pertengkaran orang tuanya itu tergambar jelas di roti yang berada di hadapannya. Membuat ia melahap roti itu dengan cepat karena tak mau lama-lama membayangkan kejadian tak mengenakkan tersebut.
Icha kemudian menghampiri Nayra dan duduk di sebelahnya. "Oh, iya, Nay, kamu udah ngerjain PR Kimia belum? Aku semalem tuh mau ngerjain, tapi susah banget, Nay. Kamu tau kan kalau aku gak sepinter kamu."
Nayra menoleh ke arah Icha, dan Icha yang ditatap Nayra hanya menunjukkan cengiran kudanya. Nayra langsung mengeluarkan buku tugas Kimianya, seakan mengerti dengan maksud omongan Icha padanya.
Icha segera menerima buku itu dengan senang hati. "Oke, pinjem dulu, ya. Nayra emang paling baik, deh!"
Icha langsung berbalik ke tempat duduknya, dengan secepat kilat ia menyalin jawaban milik Nayra. Pasalnya, guru Kimia mereka itu terkenal dengan galaknya, sehingga tidak ada murid yang berani untuk tidak mengerjakan tugasnya.
"Eh, pinjem juga dong, Cha! Itu punya siapa? Mau liat dong!" Rani yang baru masuk kelas langsung berlari ke arah Icha yang sedang sibuk menyalin tugas. Dia langsung merebut buku yang sedang dipegang Icha.
"Nayra, gue juga mau liat, ya! Gue gak mau dihukum soalnya," ucap Rani seenaknya.
Nayra hanya bisa pasrah, memilih tak peduli tentang siapa-siapa saja yang akan melihat tugasnya. Ia mengeluarkan buku paket Kimianya, mempelajari tentang bab yang akan dibahas nanti. Setidaknya, ia paham dengan materi yang akan dipelajari.
Setelah 15 menit lamanya, akhirnya Bu Tary memasuki ruangan kelas. Suasana kelas yang awalnya ricuh berubah menjadi hening. Buku tugas Nayra yang masih dipinjam oleh teman-temannya itu akhirnya dikembalikan dengan cara mengoper dari tangan ke tangan.
"Kalian semua sudah mengerjakan tugas? Yang sudah, silakan dikumpulkan di depan. Yang belum mengerjakan, silakan ambil posisi di lapangan seperti biasanya," titah Bu Tary.
Semua siswa dengan percaya diri mengumpulkan ke depan. Dan Bu Tary merasakan ada kejanggalan di sana, sebab kelas Nayra itu adalah kelas yang dihuni oleh murid-murid pemalas. Biasanya pasti ada setidaknya lima orang yang dihukum.
"Kalian yakin ini semua adalah pekerjaan kalian sendiri?"
Satu kelas kembali hening, tak ada yang berani menjawab pertanyaan Bu Tary.
"Oke, diam berarti iya. Karena semuanya sudah pada pintar, hari ini saya akan uji kemampuan kalian. Nama yang saya panggil, silakan maju ke depan."
Suasana kelas mulai tak kondusif saat Bu Tary menuliskan soal di papan tulis. Masing-masing murid sibuk membuka lembar demi lembar buku paket Kimia. Selain itu, ada juga yang langsung memulai sesi gibah.
"Roni, silakan isi soal nomor satu."
Yang mempunyai nama Roni itu langsung kelabakan. Ia maju dengan langkah sedikit gemetar.
Roni menerima spidol yang diberikan Bu Tary, dan mulai meratapi soal yang sudah ada di depan matanya.
Kenapa lo susah banget, sih?
Begitu batinnya.
"Kok diem? Saya nyuruh kamu ke depan itu untuk mengerjakan soal, bukan buat mejeng. Tugas kamu ini benar semua, lho! Harusnya kamu bisa mengerjakan soal di depan dengan mudah."
Roni menelan salivanya, jakunnya ikut bergoyang karena rasa gugupnya. Tanpa disadari, keringat-keringat kecil mulai bercucuran dari keningnya.
"Baik, saya rasa ini bukan hasil kerja kamu sendiri. Nilai kamu saya anggap hangus. Ayo, siapa lagi yang mau mengaku kalau kalian menyontek? Saya akan beri kelonggaran bagi siapa yang mau mengaku sekarang."
Tanpa terduga-duga, hampir semua murid di kelas 12 IPA 5 itu maju ke depan. Hanya tersisa tiga murid yang masih duduk di kursi, dan Nayra adalah salah satunya.
Bu Tary melongo, terkejut dengan pemandangan yang sedang ia lihat. "Berani-beraninya kalian semua menyontek dalam mengerjakan tugas dari saya? Kalian pikir tugas ini sepele, ya? Kalian menganggap enteng tugas ini sampai-sampai kalian dengan mudahnya menyontek tugas orang lain?"
30 siswa yang berada di depan hanya terdiam sambil menunduk, tak berani menjawab amarah Bu Tary yang terlihat semakin memuncak.
"Untuk Nayra, Nabila, dan Ara, kalau kalian masih memberikan jawaban sama temen kalian, saya juga akan memberikan hukuman pada kalian."
Setelah melewati pelajaran Kimia yang menyeramkan juga pelajaran Bahasa Inggris yang bisa digunakan sebagai cooling down, akhirnya bel istirahat berbunyi. Semuanya sibuk mengajak teman-teman mereka untuk ke kantin bersama, terkecuali Nayra. Nayra yang memang sudah terbiasa sendiri itu berjalan santai menuju kantin. Sesekali ia sedikit memiringkan badannya untuk menghindar dari orang-orang yang berlarian.
Nayra menyukai kedamaian, tapi suasana di kantin sangatlah jauh dari kata damai. Lagi-lagi dia memilih menyumpal telinganya dengan earphone untuk tetap menjaga suasana hatinya. Bisa dibilang, earphone adalah benda terpenting bagi Nayra, yang harus ia bawa ke mana pun dan kapan pun.
Saat Nayra sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, matanya akhirnya berhenti di suatu titik.
Matanya terhenti pada suatu kumpulan laki-laki yang sedang memainkan gitar dan menyanyi asal-asalan.
Ia tertarik pada laki-laki yang tetap fokus membaca buku, padahal sedang dikelilingi oleh teman-temannya yang sangat berisik.
Siapa namanya?
Itu adalah pertanyaan singkat Nayra.
Bersambung ...
YOU ARE READING
180 DAYS ✔
SpiritualMenceritakan tentang perjuangan seorang gadis yang mulai beranjak dewasa. Perjuangannya dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat walau harus menemui beberapa jalan buntu. Nayra, sosok gadis polos yang menjadi korban atas keretakan rumah tangga...