Happy Reading and Enjoy With This Story
Mungkin kami memang sudah seharusnya bertemu, duduk, dan membicarakan masalah yang mungkin hanya karena aku yang berlebihan, "hai Jun" sapaku canggung. Dia berdiri disamping motornya yang hanya berjarak beberapa meter dari posisiku berdiri sekarang.
"Ray....."
"Bisakah kita bicara sebentar?" tanyaku padanya dan Juna langsung mengangguk cepat. Kami memutuskan untuk berbicara di café depan gedung apartemen, tidak di unit miliknya juga tidak di unit milikku.
Diam, awalnya kami saling diam, hanya beberapa kali bertemu pandang dan akhirnya aku mengalah, memulai pembicaraan terlebih dahulu.
"Maaf kalau aku terlalu berlebihan tempo hari" kataku padanya, dia menggeleng pelan, "nggak kok, aku yang salah karena ngomong kaya gitu sama kamu"
Aku berusaha mempertahankan nada suaraku agar tidak terdengar bergetar. Setelah curhat dengan mbak Gigi 2 hari lalu, aku berada disatu titik kesimpulan yang kuyakini ini adalah suatu yang benar.
"Aku... Raya aku nggak akan berangkat kalau kamu nggak mau" dia meraih punggung tanganku dan sebelum tangannya menyentuhku, aku langsung menariknya, dan meminta maaf lewat pandangan mata.
"Nggak, jangan... Kamu adalah satu dari sekian juta manusia yang beruntung, mungkin memang kamu ditakdirkan untuk hal ini. Jangan karena aku kamu malah ninggalin hal sebesar itu, aku nggak seberharga itu Jun. Dan benar apa yang kamu bilang, kita nggak punya hubungan apapun" bukannya menyindir atau balas dendam, tapi inilah kenyataan yang selama ini seolah tidak terlihat didepan mataku, tidak ada status yang mengikat kami. Dan kami tidak pernah berkomitmen untuk satu hal itu.
"Raya, waktu itu aku kalut. Aku juga daftar disana Cuma iseng-iseng, jauh sebelum ketemu kamu, aku bahkan nggak percaya kalau aku bakal diterima lengkap dengan beasiswanya" Juna menyugar rambutnya yang semakin panjang, berantakan bahkan sampai menutup daun telinganya, dia kacau.
"Nggak papa, itu udah rejeki kamu, aku nggak mau dicap sebagai penghalang buat kamu. Ambil Jun, kesempatan ini nggak akan datang dua kali"
***
Arjuna POV
Edwin datang dengan sebuket bunga besar dan langsung dikasih ke gue, meluk gue singkat dan kasih ucapan selamat atas gelar yang baru aja gue sandang, gue cari dia, tapi dia tidak ada, gue berharap dia datang, kasih kejutan dan mengucapkan selamat, tapi nggak.
"Itu dari kak Raya, katanya 'salam ya buat Juna, bilangin maaf karena gue nggak bisa dateng' dan buket itu dia titipin ke gue tadi pagi" ujar Edwin yang seolah tau kalau gue lagi nyari-nyari kakaknya, gue hanya bisa ngangguk lesu.
Sebulan lebih semuanya berlalu, kata Edwin untuk sementara Raya bakal tinggal di Bogor karena dia akan membuka offline store untuk bisnisnya, gue bangga sama dia.
"Thank You" gue tersenyum kecil, teman-teman gue yang lain datang, ngucapin selamat atas kelulusan yang sudah gue tunda setahun lebih.
Papa datang dengan kekasihnya, terserah... gue juga nggak peduli, bang Yudi nggak bisa datang karena sedang di Bangkok, dan Bang Bima sedang di Yogya, tempat dimana dia tinggal.
Kacau... keluarga gue kacau, gue cuma punya temen-temen gue, dan Raya –dulu.
"Trus lo mau berangkat ke Swiss kapan?" tanya Yoga disela take foto, mereka beramai-ramai datang, bahkan anggota esport lain datang cuma buat kasih gue selamat.
"2 minggu lagi gue bakal berangkat, banyak yang harus diurus disana" jawab gue pelan, lalu tukang foto meminta kami untuk berganti gaya. Gila-gilaan, gue beruntung punya mereka semua, tapi gue akan merasa lebih beruntung kalau Raya ada, ditengah-tengah kami semua.
***
"Papa akan menikah akhir tahun ini, papa harap kamu bisa pulang nanti"
"Terserah" gue masih berbaik hati buat mau diajak papa ngobrol dihotel tempat beliau menginap, kekasihnya itu entah pergi kemana, mungkin papa meminta quality time diantara kami.
Bukan cuma Raya yang sempat marah karena gue nggak kasih tau kuliah S2 gue di luar negeri, Papa, dan kedua abang gue langsung telfon ketika gue kasih tau mereka kalau gue akan berangkat 2 minggu setelah wisuda, semua mendadak, tapi gue tidak bisa mundur.
Ini mimpi gue, banyak hal yang harus gue korbankan untuk satu hal besar ini, termasuk hubungan gue sama Raya. tapi jangan harap gue bakal nyerah begitu saja, nanti... bakal ada saatnya gue berjuang lagi, mulai dari nol.
"Juna, Papa tau kamu marah sama papa, tapi tolong Jun jangan abaikan papa lagi" nggak pernah sekalipun beliau memelas pada seseorang, dan gue diam papa berbicara seolah dia sedang meminta pengampunan atas dosa yang luar biasa besar yang pernah beliau lakukan.
"Udahlah Pa, nggak usah memelas kaya gitu, Juna dan abang-abang udah gede, udah mandiri, Papa mau hidup bahagia kan sama tante Laura? Ya udah nikah aja, terserah papa, sebahagia papa" gue segera beranjak dari kursi, sudah mulai enggan membahas masalah yang seolah tak ada habisnya itu.
"Jun pulang dulu pa"
-------
Maybe, banyak yan nggak terima sama cerita yang aku buat ini, tapi ini adalah hal ter-realistis yang pernah aku bikin.
Kalau tembus 100 Vote sebelum jam 12 malam nanti, aku bakal up satu lagi dan misalnya aku ketiduran berarti besok aku double up.
semoga kalian suka.
With Love,
Bella

YOU ARE READING
A GAME
Romance"Ray, kamu bukan siapa-siapa, kita nggak punya hubungan apa-apa" Aku menatapnya tak percaya, lalu apa arti dari kebersamaan kami selama ini? . . . Cerita ini akan mulai diposting per tanggal 16 Juli 2019