20

1.5K 185 12
                                    

Waktu kembali berjalan, Jimin kembali sibuk dengan urusan Pekerjaannya dan Jeongyeon juga kembali sibuk dengan urusan Kedai dan pengobatan Ayahnya. Jeongyeon tidak tahu harus mengatakan apa tentang masalah kesehatan Ayahnya. Semua berjalan dengan Baik. Terapi, Check Up, Kemoterapi, Semua itu Jeongyeon sudah lakukan dengan sebaik mungkin. Hal itu mulai terlihat dari badan Ayahnya yang bukannya semakin tipis tapi lebih berisi dari biasanya. Ayahnya pun sudah tak pernah lagi pingsan atau terkena serangan apapun. Ia bahkan tak pernah dirawat semenjak kejadian di Kedai itu. Kali ini Jeongyeon percaya, Ayahnya akan baik-baik saja. Karena Jeongyeon akan selalu bersamanya.

Ponsel Jeongyeon bergetar di sakunya. Ia memberhentikan pekerjaan memasaknya sebentar. Ya, Sekarang Jeongyeon ada di Kedai kembali bekerja setelah menemani Ayahnya pagi-pagi Check Up.

"Anyonghaseyo.."

"Jeongyeon-aa... Ini Bibi Park"

"Ohh.. Nee... Anyonghaseyo Bibi" kata Jeongyeon takut-takut.

"Jeongyeon.... Mampirlah kerumah... Bibi dan Paman sudah kembali ke Korea bersama Jeno... Malam ini kami akan mengadakan pesta kecil merayakan keberhasilan Jeno memenangkan Lomba Science di Campusnya"

"Kerumah???" Kata Jeongyeon ragu.

"Iyaaa... Bibi perlu bantuan untuk memasak dan bersiap... kau tahu sendiri Paman, Jimin ataupun Jeno tak ada yang bisa diandalkan... lagipula kamu kan juga keluarga kami... Ajak Ayahmu sekalian"

"Bagaimana bisa??? Datanglah jam empat sore kerumah"

Sambungan terputus begitu saja. Jeongyeon pun menghembuskan napasnya panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa sekarang. Ia tidak masalah jika harus membantu ataupun memasak bersama Bibi Park. Hanya saja ia takut Jimin akan kembali marah padanya. Sudah lebih baik keadaan mereka terakhir kali. Setidaknya jika mereka memang tak bisa disatukan, Jeongyeon tidak mau menambah musuh. Lebih baik diam dan perlahan-lahan menjauh seperti ini. Tapi kenapa Bibi Park selalu menghubunginya jika bersangkutan Jimin. Padahal Bibi Park sudah tahu jika anaknya itu menolak mentah-mentah perjodohan ini.

"Datang saja..."

Sebuah suara menyadarkan Jeongyeon dari lamunannya. Jeongyeon kaget saat melihat Ayahnya berada disampingnya dengan Kursi Roda.

"Appa... mengangetkan saja" kata Jeongyeon cepat.

"Kenapa kau murung begitu?? Harusnya senang kalau diundang makan bersama keluarga Park" kata Jeongjin memandang anaknya bingung.

"Appa akan beristirahat dirumah... Sampaikan salam Appa pada mereka" Kata Jeongjin lagi tersenyum kearah anaknya.

"Apa kau masih merasa canggung bersama mereka???" Tanya Jeongjin mencoba menerka pikirannya Anaknya yang terdiam.

Jeongyeon menatap Ayahnya takut. Asalkan Jeongjin tahu kenapa alasannya, Jeongjin pun tak akan mengizinkan Jeongyeon kesana.

"Cepat atau lambat pun... Mereka akan menjadi keluargamu juga" kata Jeongjin melihat lurus kedepan.

"Akankah???" Kata Jeongyeon dalam hati.

"Appa senang akhirnya kamu semakin sering bersama dengan keluarga Park... Mereka orang yang sangat baik... Appa jadi yakin kamu tidak akan kesepian jika bersama Keluarga Park" kata Jeongjin tanpa sadar meneteskan air mata.

"Appa..." kata Jeongyeon tak suka Ayahnya berkata seperti itu. Bukan, Tapi sangat membencinya. Seakan Ayahnya akan meninggalkan Jeongyeon sekarang. Perkataan itu sangat menyakiti Jeongyeon.

"Jeongyeon-aa..." panggil Jeongjin menatap kearah Anaknya.

Jeongyeon pun menatap kearah Ayahnya sedih. Ia masih bisa menahan air matanya. Ia harus kuat jika tidak mau Ayahnya semakin lemah.

CHOISE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang