4. A Monster Day

10.8K 795 19
                                    

Aku berlari. Mengabaikan tatapan mata para mahasiswa yang berjalan di sepanjang jalan. Tak perduli dengan apa yang mereka pikirkan. Karena sejujurnya hanya satu pikiranku saat ini.

Terlambat.

Sial. Sial. Dan sial. Kemarin sore aku lupa memberitahu Mbak Zi untuk membangunkanku lebih awal. Terserah bagaimana caranya. Intinya aku harus bangun awal. Tapi ternyata, aku lupa memberitahu hal penting itu. Dan disinilah aku berada saat ini.

Gugup sudah pasti. Mengingat ini adalah kelas pertama Pak Andra. Apalagi ditambah dengan rumor menyeramkan yang selalu mengitari dosen muda yang galak itu. Ah, dia tidak galak. Hanya saja menyebalkan dimataku untuk saat ini. Tapi tetap saja, aku takut setengah mati jika sudah seperti ini.

Kulirik jam dipergelangan tanganku. Sudah pukul 7.35. Terlambat 5 menit dari waktu yang ditentukan. Aku berdiri di depan pintu kelas yang tertutup rapat. Menempelkan telingaku di daun pintu. Mencoba mendengar suara dari dalam ruangan yang tertutup rapat itu.

Hasilnya? Nihil. Aku tak mendengar suara apapun. Entah karena ruang kelasku mendadak kedap suara. Atau karena memang penghuni kelas tak mengeluarkan suara sedikitpun.

Ku genggam gagang pintu dengan kuat. Sangat kuat hingga kuku jariku hampir memutih. Mengetuk pintu sedikit dengan sopan dan kemudian mendorong pintunya dengan pelan.

Didepan kelas, Pak Andra sedang duduk sambil mengerjakan sesuatu di laptop mahalnya. Wajahnya kaku dan datar seperti biasa. Dan ya, tentu saja aura menyebalkan sekaligus menyeramkan miliknya selalu menyelubungi dosen strict-ku itu.

"Permisi, Pak", aku membuka suara. Masih berdiri di ambang pintu. Tak berniat masuk zona mengajar Pak Andra tanpa izin. "Maaf saya terlambat"

Pak Andra kini menatap kearahku. Wajahnya tak terbaca. Jadi aku tak bisa menebak dia marah atau mungkin biasa saja dengan keterlambatanku ini. Tapi aku pikir opsi pertama lebih memungkinkan. Tak mungkin orang yang gila disiplin itu biasa saja dengan keterlambatanku. Sama saja berharap dengan Indonesia turun salju secara dadakan.

"Nama dan NIM*", Pak Andra bertanya tanpa perlu repot-repot menatapku lagi. Fokusnya kini beralih pada map hijau yang aku tau berisi absen mahasiswa.

Setidaknya aku tidak masuk dalam buku hitam miliknya. Buku kecil yang selalu dia bawa kemana-mana. Buku yang katanya menjadi penanda kiamat sughra bagi mahasiswa.

"Andara Jelita Wirsandi. B1034161009", aku menjawab dengan lantang. Lalu kemudian mendadak terkejut sendiri dengan besarnya volume suaraku.

"Duduk", perintahnya tegas.

Jadi dengan cepat aku menutup pintu kelas dan berjalan menuju kursiku. Dibarisan ketiga tepat disamping Ares yang kini sedang menahan tawa mencemoohnya.

Aku duduk. Membuka buku catatanku. Mengeluarkan segala macam perlengkapan perangku. Di papan tulis sendiri sudah tertulis beberapa catatan kecil untuk matakuliah ini.

"Tanda tangan, Ra", Ares menyerahkan sebuah kertas yang sudah ditempeli materai 6.000.

Aku mengambilnya dengan heran. Membacanya perlahan dan kemudian menatap Pak Andra yang sedang duduk itu dengan tak percaya. Jadi, dia benar-benar dosen strict yang cenderung gila. Sejak kapan ada dosen yang perlu repot-repot membagikan surat perjanjian seperti ini? Ditempeli materai lagi.

Isi surat itu tak banyak. Hanya menerangkan aturan-aturan yang berlaku dikelas ini. Batas keterlambatan antara kedua belah pihak yang aku pikir tak akan pernah mungkin dilanggar Pak Andra selama dia mengajar. Lalu ada juga point mengenai pembagian nilai untuk tugas-tugas. Isinya biasa saja. Yang membuat surat itu tak biasa adalah tertempelnya materai disana. Intinya, surat ini resmi dimata hukum. Dan tak akan ada yang bisa mengelak dari surat perjanjian ini.

Colour of LifeWhere stories live. Discover now