8. Persiapan

9K 813 16
                                    


Kamis sore ketika aku sedang duduk sendirian di perpustakaan setelah mengajar lab accounting, aku melihat sosok Pak Andra masuk kedalam perpustakaan. Matanya yang tajam sempat melihatku yang sedang duduk sambil membaca novel. Dia hanya melihatku begitu saja sebelum kemudian menghilang kearah rak-rak buku akuntansi yang super tebal dan banyak.

Pertengkaranku dan Ares masih berjalan. Selama 3 hari ini aku tak berkomunikasi dengannya. Ares juga masih menunjukan awan hitamnya ketika berada dikampus. Semua orang akan dia semprot jika sudah mulai bertanya mengenai alasan mengapa aku dan Ares bertengkar.

Karena pertengkaranku dan Ares, Icha terlihat begitu kesal. Banyak rumor simpang siur yang bertebaran mengenai alasan pasti kenapa aku dan Ares bertengkar. Salah satunya adalah orang ketiga. Dan sialnya, Icha menjadi salah satu orang yang digadang-gadang merusak hubunganku dan Ares. Ya, gosipnya memang segila itu. Berkali-kali Icha menyangkal, maka berkali-kali lipat juga rumor yang melingkupinya.

Ares memang seterkenal itu hingga kehidupannya pun menjadi konsumsi publik mahasiswa dikampus. Dulu aku tak mempermasalahkan Ares yang dikenal hampir seluruh penghuni gedung ini. Tapi kini, aku merasa menyesal. Harusnya Ares hanya menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Hingga pertengkaran kami kemarin tidak menjadi konsumsi publik yang haus akan informasi.

Aku membalik halaman novelku dengan kasar. Memikirkan masalah kemarin membuat mood-ku sangat amat buruk. Terlebih tadi malam aku mendadak mendapat telpon Mami Ares. Wanita paruh baya itu menanyakan bagaimana kabar Ares di kampus. Dan dengan penuh kebohongan, aku menjawab semuanya baik-baik saja.

"Saya nggak habis pikir dengan hubungan kamu dan Ares. Kalian memang pacaran, kan?", tanya Pak Andra yang mendadak muncul dan duduk didepanku.

Kini dimejaku terhampar buku-buku akuntansi biaya. Pak Andra kemudian mengeluarkan laptop mahal miliknya dan duduk dengan tenang di depanku.

"Habis itu saya digantung orang tua saya", jawabku pelan.

Sore hari menjelang weekend, perpustakaan cukup sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa senior yang sedang sibuk mengerjakan tugas akhir mereka. Lalu beberapa dosen yang sedang sibuk mengerjakan penelitian mereka.

Duduk semeja dengan dosen seperti ini sudah biasa jika diperpustakaan. Begitu melangkahkan kaki masuk kedalam ruangan dengan ribuan buku ini, tak ada lagi perbedaan strata antara dosen dan mahasiswa. Semuanya sama. Sama-sama mencari ilmu melalui buku-buku yang ada disini. Dan tentu saja, semua yang ada diruangan ini sibuk dengan diri mereka sendiri sehingga tak terlalu ambil pusing dengan kegiatan orang lain.

Pak Andra mengeluarkan senyum tipisnya begitu mendengar jawabanku. Raut wajahnya tak terbaca. Namun sorot matanya seakan sedang menertawakan jawabanku.

"Saya serius, Pak. Orang tua saya nggak melarang saya berteman dengan siapapun. Tapi mereka membatasi saya untuk berpacaran.", entah kenapa aku ingin menjelaskan dengan lebih jelas kepada sosok pria menyebalkan didepanku ini.

"Kamu tidak perlu repot-repot menjelaskannya ke saya, Rara", sahut Pak Andra dengan kalem.

Rara? Aku menatapnya dengan ganjil. Sejak kapan namaku mendadak berubah menjadi Rara?

Pak Andra kembali sibuk dalam pekerjaannya. Tangannya dengan lihai mengetik sesuatu di laptopnya. Sesekali aku melihat dia membenarkan letak kaca matanya yang sedikit melorot.

Pernahkah aku bilang kalau Pak Andra itu akan mendadak sangat tampan jika sedang dalam mode serius seperti ini?

Meski dalam hati yang paling dalam aku masih membenci sosoknya yang bermulut sadis itu, aku harus mengakui jika Pak Andra memiliki pesonanya sendiri. Kalau tidak, mana mungkin banyak mahasiswi yang masih mengejar-ngejarnya meskipun sudah mengetahui betapa buruknya sikap Pak Andra.

Colour of LifeWhere stories live. Discover now