19. Sisi Lain (Katanya)

10.5K 1K 63
                                    

Mama menyambut kedatanganku dengan pelukan hangatnya. Sesuatu yang jarang terjadi ketika aku pulang ke rumah. Papa berdiri disamping Mama, menatap kami dengan pandangan penuh haru. Aku tak tahu harus merespon seperti apa. Jadinya aku hanya diam dalam pelukan Mama tanpa mengucapkan sepatah katapun.

3 hari sudah aku tinggal dirumah orang tua Pak Andra. Duka masih menyelubungi rumah itu. Banyak pelayat yang masih berkunjung untuk menyampaikan rasa duka mereka. Dan aku sebagai menantu wanita dikeluarga itu harus selalu mendampingi Bunda ketika yang lain sibuk menjamu para pelayat yang hadir.

Selama itu juga aku menjalani hari bak robot otomatis yang diprogram khusus. Aku melakukan semua hal yang bisa kulakukan. Membantu Mbak Dian jika dia sudah kelelahan mendampingi para pelayat yang hadir. Atau terkadang ikut terjun kedapur untuk membantu disana ala kadarnya meski kurasa bantuanku didapur tak dibutuhkan sama sekali.

Satu hal yang aku tahu adalah keluarga Pak Andra memiliki rekan bisnis yang melimpah ruah. Selama 3 hari tak henti-hentinya para pelayat berdatangan. Bahkan saat tahlilan pun rumah didesaki oleh para pelayat. Aku tak tahu bisnis apa saja ditekuni keluarga Pramudi itu hingga memiliki banyak kenalan.

Pagi tadi ketika sarapan pagi, Bunda menyuruh Pak Andra agar mengantarku ke rumah kedua orang tuaku. Memintaku dan Pak Andra untuk beristirahat sejenak sebelum besok kembali dalam rutinitas kami seperti biasa. Awalnya Pak Andra menolak. Dia mengemukakan seribu alasan logis yang membuat bunda harus membujuknya dengan hati-hati. Bunda bilang selain dirinya yang butuh perhatian dari Pak Andra, aku juga membutuhkannya. Sudah banyak hal yang aku lewati dengan drastis selama beberapa hari belakangan ini, dan menurut Bunda aku pasti akan merasakan guncangan psikologis.

Guncangan psikologis? Aku bahkan sudah tak berbentuk sejak aku menikah dengan Pak Andra. Bayanganku mengenai diriku sendiri mendadak menjadi abu-abu sejak itu. Aku bertindak berdasarkan situasi yang terjadi dan bukan karena aku sudah siap menjadi seorang istri.

Saat itu Pak Andra sejenak menatapku. Memperhatikan diriku dengan serius. Mungkin dia sedang mempertimbangkan guncangan psikis seperti apa yang sedang aku alami. Butuh waktu yang cukup lama hingga dia menyerah. Menyetujui permintaan Bunda. Kurasa dia sudah tahu dengan patuhnya aku selama beberapa hari ini merupakan salah satu guncangan psikis yang aku alami.

Ya. Seorang Andara akan sangat sulit untuk bersikap patuh.

"Kalian mau istirahat atau makan siang dulu?", tanya Mama begitu menguraikan pelukan kami.

Aku kembali pada situasi yang sedang terjadi. Bayu sedang berdiri canggung di ambang pintu ruang keluarga. Matanya menatapku dengan gelisah sebelum kemudian pergi begitu saja.

"Dara nggak laper, ma", jawabku pelan. "Nggak tau deh Pak Andra"

"Andra istirahat dulu aja, Ma", Pak Andra angkat suara. Matanya kemudian fokus kepadaku. "Dimana kamar kamu?"

"Lantai atas. Pintu ujung sebelah kanan"

Setelah berbasa-basi sebentar, Pak Andra bergegas naik kelantai atas sambil menyeret koper kecil yang berisi pakaiannya. Pakaianku sendiri masih menumpuk didalam kamarku.

Mama kemudian menuntunku menuju ruang keluarga. Memintaku duduk disofa disebelahnya sementara Papa menghilang ke dalam ruang kerjanya yang terletak persis disamping kamar ibadah.

Dimeja, aku bisa melihat potongan brownies talas yang diletakan diatas piring kecil dan secangkir teh. Kemungkinan besar sebelum aku datang Mama sedang menikmati waktu kosongnya dengan bersantai sambil menonton tv.

"Andra baik, kan?", Mama bertanya padaku dengan penasaran.

Untuk sejenak aku tergoda untuk menjawab pertanyaan Mama dengan nada yang ketus. Namun setelah kupikir ulang, lebih baik aku menjawab dengan baik-baik.

Colour of LifeWhere stories live. Discover now