16. Gosip Sesat Naya

9.1K 788 9
                                    

"Kenapa kamu?", suara Pak Andra mengejutkanku yang sedang sibuk memperhatikan pohon mangga yang ada dihalaman samping.

Aku melirik sosoknya yang kini terlihat lebih santai. Mungkin dia merasa lega telah memberitahukan siapa dirinya saat makan siang tadi. Atau mungkin juga karena rasa laparnya sudah hilang setelah makan siang.

"Nyari mangga mateng, Pak", jawabku pelan. Dengan cepat aku bergeser dari posisi semula agar bisa memberi jarak aman antara aku dan Pak Andra. Sudah cukup selama makan siang tadi aku merasa tak tenang karena harus duduk bersebelahan dengannya. Apalagi jika aku mengingat wajahnya yang terus menerus berusaha mengintimidasiku dan yang lain.

Tapi seperti biasanya, sekalipun aku ingin menjaga jarak, Pak Andra selalu saja terlihat berusaha mendekat. Aku tak paham dengan cara kerja pikirannya itu. Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku?

"Saya minta maaf karena sudah memarahi kamu tempo hari", ucapnya santai.

Mendengar Pak Andra meminta maaf padaku entah kenapa aku merasa takut. Pak Andra itu sedikit licik dan menyeramkan menurutku. Mood-nya yang bagai gelombang pasang surut itu mampu membuatku lari kocar-kacir hanya dengan melihatnya dari jauh. Aku tak tahu perangkap apa yang sedang dipasangnya untuk membuatku lebih patuh terhadapnya.

Mengingat soal itu, mood-ku yang sudah buruk semakin buruk. Atas dasar apa aku harus patuh pada sosok menyebalkan ini?

"Iya, Bapak emang harusnya minta maaf sama saya", balasku pelan. Kulirik sosoknya yang kini menatapku dengan tatapan tak terima. "Bapak yang ngerecokin saya. Bapak juga yang mancing emosi saya. Yang namanya orang emosi suka asal ngomong, Pak. Mulutnya nggak ke kontrol"

Di keluargaku aku menjadi orang yang paling jahat jika sudah marah. Aku sangat pandai memaafkan, namun sangat sulit untuk melupakan. Jika ada yang mencari masalah denganku dan membuatku emosi, perkara masa lalupun akan aku ungkit seketika. Tak perduli jika itu tak ada kaitannya dengan masalah yang memicu emosiku.

Sekali waktu Bayu pernah menjadi sasaran kemarahanku. Si bungsu itu bahkan tak berkedip saat aku dengan jahatnya melontarkan semua kejengkelanku padanya. Memarahinya dengan penuh penekanan dan emosi. Yang terakhir ku ingat adalah ketika Bayu hanya bisa terisak kecil ketika aku selesai memarahinya.

Kedua kakakku tau dengan watak burukku itu. Jadi mereka tak pernah mencoba untuk sekedar memancing kemarahanku.

"Tempramen kamu sangat buruk ternyata", cela Pak Andra.

"Manusia itu memiliki sifat yang berbeda untuk setiap individu"

Pak Andra mengangguk setuju, "Ya, saya tahu itu"

Lama tak ada suara diantara kami. Suasana mendung yang menemani siang kami berhasil membuatku gelisah tak nyaman. Berduaan dengan Pak Andra tentu sangat tak baik bagi kesehatan jantungku. Apalagi secara psikis aku merasa tertekan. Entahlah, kenapa aku merasa tertekan seperti ini.

Pak Andra adalah salah satu dosenku yang harus aku waspadai, dilain sisi kedua orang tuanya merupakan sahabat dekat orang tuaku. Ah, jangan lupakan hubungan akrab dua keluarga kami. Kesampingkan saja aku dan Bayu yang tak tahu apa-apa. Kedua kakakku dan Pak Andra memiliki hubungan yang sangat baik. Mungkin aku bingung harus menempatkan diriku seperti apa.

Pada akhirnya setelah keheningan yang cukup lama itu, Pak Andra berlalu dari sisiku. Pria itu masuk kedalam rumah tanpa kata. Setengah jam kemudian dia dan keluarganya pulang. Saat itu aku memilih tetap berada di taman samping. Duduk bersila di teras rumah dan sama sekali tak berniat untuk mengantar keluarga Pak Andra hingga depan pagar seperti yang dilakukan hampir seluruh penghuni rumah.

Untuk apa? Aku tak ingin terlibat lebih jauh lagi dengan Pak Andra. Pria itu tak baik untuk kesehatan psikisku.

***

Colour of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang